“Bid…ayo mandi! Disuruh mandi saja kok malas amat!” bentak ibu Abid (7) seraya menyeret paksa anaknya yang sedang asyik bermain. “Fatma…jangan dekati kompor itu! Bahaya, tahu!” Bentak ayah Fatma yang memergoki putrinya (2) sedang mengutak-atik kompor minyak. Ketika bocah kecil itu menangis mendengar bentakan ayahnya, sang ayah malah kembali membentak, “Heh…diam!” Si kecil pun semakin ketakutan. Membentak anak, sepertinya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang tua. Saat melihat anak melakukan kesalahan, atau ketidakpatuhan, orang tua memang sering dibuat jengkel. Secara refleks, karena emosi, orang tua sering bermaksud ‘menasihati’, tapi diucapkan dengan nada tinggi. Kebiasaan ini juga lebih sering dilakukan oleh orang tua yang temperamental. Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak dengan bentakan? Tentu tidak, sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan orang tuanya, suka membentak. Dalam Nikah edisi Juni 2006 sudah dibahas cara menasihati anak secara efektif (Menegur Perilaku, Menghargai Pelaku). Pada edisi kali ini, akan dipaparkan beberapa akibat bila anak terlalu sering menerima bentakan. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana kiat menumbuhkan kepatuhan. SALAH KAPRAH ORANG TUASeringkali orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan oleh anak. Bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi.Seharusnya orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak, sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan anak dengan orang dewasa. Orang tua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku anak dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar, jangan pernah menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus diakui, orang tua yang habis kesabarannya sering membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan kaki, atau membanting pintu. Sikap orang tua tersebut seperti polisi menghadapi penjahat. Sebaliknya, orang tua sering lupa untuk memberikan perhatian positif ketika anak mandi tepat waktu, menghabiskan susu dan makanannya, serta memberesi mainannya. Padahal seharusnya, antara perhatian positif dengan perhatian negatif harus seimbang. PENGARUH TERHADAP ANAKAnak-anak yang sering diberi perhatian negatif, apalagi dengan teguran keras atau bentakan, akan mudah tertekan jiwanya. Kemungkinan ia bisa berkembang menjadi anak yang:- Minder Bila anak selalu dicela dan dibentak, dan tak pernah menerima perhatian positif saat ia melakukan kebaikan, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri atau minder. Akan tertanam dalam jiwanya bahwa ia hanyalah anak yang selalu melakukan kesalahan, tidak pernah bisa berbuat kebaikan atau menyenangkan orang lain. Akibatnya, ia sering ragu-ragu atau tidak percaya diri untuk melakukan atau mencoba sesuatu karena takut salah. Misalnya, ia jadi tidak pede untuk mengaji atau membaca Al-Quran, gara-gara orang tuanya selalu membentaknya bila mendengar bacaannya salah. - Cuek/ tidak peduli Anak yang selalu dibentak juga bisa berkembang menjadi anak yang cuek dan tidak peduli. Akibat sudah terlalu sering menerima bentakan, ia malah jadi apatis, tidak peduli. Ia pun sering mengabaikan nasihat orang tuanya. Mungkin saat dibentak atau dimarahi ia terlihat diam mendengarkan, tapi sesungguhnya kata-kata orang tuanya hanya dia anggap angin lalu. Masuk ke telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri. - Tertutup Orang tua yang temperamental dan suka membentak, tentu akan menakutkan bagi anak. Ya, anak menjadi takut pada orang tuanya sendiri, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Ia tak pernah mau berbagi cerita dengan orang tuanya. Buat apa berbagi kalau nanti ujung-ujungnya ia akan disalahkan? Dengan demikian, komunikasi antara orang tua dan anak tidak bisa berjalan lancar. Hal ini tentu berbahaya, karena bila menghadapi masalah dan hanya disimpan sendiri, jiwa anak bisa sangat tertekan. - Pemberontak/ penentang Anak yang bersikap menentang bisa digolongkan dalam 3 tipe. Pertama, tipe penentang aktif. Mereka menjadi anak yang keras kepala, suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena merasa tidak dihargai oleh orang tua. Untuk melawan jelas tak bisa, karena ia hanya seorang anak kecil. Maka ia pun berusaha menyakiti hati orang tuanya. Ia akan senang bila melihat orang tuanya jengkel dan marah karena ulahnya. Semakin bertambah emosi orang tua, semakin senanglah ia. Kedua, tipe penentang dengan cara halus. Anak-anak ini jika diperintah memilih sikap diam, tapi tidak juga memenuhi perintah. Sebagaimana Abid yang disuruh mandi oleh ibunya, tapi tak juga mau beranjak dari tempatnya bermain. Saat ia ditinggalkan sendiri di kamar mandi pun, ia tidak segera mandi, malah bermain air atau kapal-kapalan. Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak seperti ini baru mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang tuanya jengkel, marah, dan mengomel atau membentak-bentak karena kemalasannya. Misalnya Angga yang belum mau beranjak dari tempat tidurnya bila belum dibentak atau diomeli ibunya. - Pemarah, temperamental dan suka membentak Anak sering meniru sikap orang tuanya. Bila orang tua suka marah atau ‘main bentak’ karena sebab-sebab sepele, maka anak pun bisa berbuat hal yang sama. Jangan heran bila anak yang diperlakukan demikian, akan berlaku seperti itu terhadap adiknya atau teman-temannya. BAGAIMANA MENUMBUHKAN KEPATUHAN?Setelah jelas bila bentakan tidak efektif untuk menumbuhkan kepatuhan, bahkan berpengaruh negatif bagi kepribadian anak, lalu bagaimanakah cara yang baik untuk menumbuhkan kepatuhan?- Beri penjelasan pada anak Jelaskan pada anak dengan bahasa yang ia mengerti, mengapa suatu hal diperintahkan dan hal lain dilarang. Jangan sekali-sekali memberi keterangan dusta dalam hal ini. - Perintahkan sebatas kemampuannya Perintah di luar kesanggupan dan kemampuan anak justru bisa menyebabkan krisis syaraf (neurotic) dan buruk perangai. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat dipenuhi.” Sebaiknya perintah itu dibagi-bagi dan tuntutan pelaksanaannya pun bertahap. Untuk mengetahui sampai di mana batas kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, diperlukan pengetahuan tersendiri. Sebaiknya orang tua memahami perkembangan anak ini. - Tidak berdusta atau menakut-nakuti Kadang orang tua mengatakan akan membelikan ini atau itu jika anak mematuhi perintahnya, tapi ternyata setelah anak patuh, orang tua tidak menepati janjinya. Itu berarti orang tua berdusta, dan bisa jadi anak tidak akan percaya lagi pada orang tuanya. Kedustaan seperti ini harus dihindari. Selain itu, orang tua juga sering menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang seharusnya berguna baginya. Itu dilakukan karena ingin anaknya segera memenuhi perintah mereka. Misalnya menakut-nakuti anak dengan dokter, suntikan dan sebagainya. Ketakutan anak pada hal-hal tersebut bisa terbawa hingga ia dewasa. - Jangan bertentangan dengan naluri anak Gharizah atau naluri adalah kekuatan terpendam dalam diri manusia yang mendorongnya untuk melakukan beberapa pekerjaan tanpa berlatih terlebih dahulu. Janganlah orang tua melarang anak bermain, atau membongkar dan memasang sesuatu. Jangan pula melanggar kebiasaan anak kalau tidak ingin mereka menggunakan jerit tangis sebagai senjatanya. Lebih baik gharizah itu diarahkan sedemikian rupa sehingga anak bisa mengatur dirinya sendiri. Misalkan diberi perintah, “TPA nanti mulai ba’da asar lho, sekarang kan udah setengah tiga. Adik udah aja ya mainnya, dilanjutin besok aja, sekarang mandi dulu, kan udah mau adzan…”. Ungkapan itu tidak melarang anak bermain, dan tidak melanggar kebiasaan mereka bermain di tengah hari. Pemberian ‘masa terbatas’ ini dimaksudkan agar anak bisa mengatur jadwal kegiatannya sendiri, dan akan sangat menolong untuk melatih anak disiplin waktu. Selain itu mereka merasa dianggap mampu untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus didikte begini dan begitu. |
Bila Sikecil banyak Bertanya
Pet! Listrik tiba-tiba padam, malam itu. Dengan sigap, abi segera menyalakan lampu minyak. Si kecil Asma’ (3) mengamati lampu minyak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, muncullah beberapa pertanyaan dari bibir mungilnya
Pet! Listrik tiba-tiba padam, malam itu. Dengan sigap, abi segera menyalakan lampu minyak. Si kecil Asma’ (3) mengamati lampu minyak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, muncullah beberapa pertanyaan dari bibir mungilnya
“Itu apa Bi?” “Itu lampu minyak, Sayang.” “Kok pakai lampu minyak kenapa Bi?” “Karena listrik mati.” “Listriknya kok mati kenapa toh Bi?” “Ya…mungkin karena tadi ada hujan deras.” “Kok tadi ada hujan deras kenapa Bi?” “Tadi di langit kan ada awan hitam, awan itu sekumpulan air, kalau turun jadi hujan.” Bla…bla…bla….Demikianlah pertanyaan si kecil bagai tak ada habisnya. Abinya pun dengan sabar menjawab pertanyaan putri sulungnya.
Rasa Ingin Tahu, Jangan Dimatikan
Anak-anak berusia 2-5 tahun memang seringkali mengajukan banyak pertanyaan kepada orangtua atau pengasuhnya. Pertanyaan mereka biasanya tidak jauh dari apa yang mereka temui, amati atau rasakan. Yang mendorong mereka mengajukan pertanyaan adalah besarnya rasa ingin tahu mereka terhadap segala sesuatu.Sebenarnya, kita semua memiliki bekal rasa ingin tahu ini semenjak lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan, dan bicara. Selanjutnya, rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak mereka. Sayangnya, orangtua banyak melakukan intervensi negatif sehingga naluri penting ini terkubur dalam-dalam
Seringkali orangtua tak mau menjawab pertanyaan anak-anaknya yang menurut mereka terdengar konyol, lugu, dan seperti dibuat-buat. Seakan tak ada gunanya kalaupun orangtua mau repot-repot menjawabnya. Hal ini menjadikan anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahunya. Setelah pertanyaan-pertanyaannya tak pernah dijawab, anak pun jadi malas untuk bertanya lagi, dan jadi tak peduli pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tindakan orangtua yang mematikan rasa ingin tahu anak itu sungguh tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak anak.
Sebagian kecil orangtua memang ada yang sangat mendukung perkembangan intelektual anaknya. Mereka bukan hanya menjawab pertanyaan anak, tetapi juga berusaha melakukan sesuatu untuk semakin menumbuhkan rasa ingin tahu sang anak. Mereka mendorong anak untuk bertanya dan terus bertanya, hingga anak sendiri yang kehabisan pertanyaan. Untuk itu, para orangtua ini menyediakan waktu sebanyak mungkin, karena mereka tahu, sepatah kata jawaban bisa menjadi sangat berarti bagi perkembangan sel saraf otak anak.
Perlu Kesabaran
Orangtua yang tidak sabaran, mungkin cuma diam atau menjawab ‘tidak tahu’ saat ditanya sang anak. Kadang, pertanyaan anak malah dijawab dengan bentakan, “Sudah diam! Jangan tanya-tanya terus. Ibu capek.”
Memang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak itu diperlukan kesabaran, di samping perhatian dan kepandaian dalam menjawab. Seorang ibu yang sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu macam pertanyaan anaknya. Demikian juga dengan sang ayah yang sudah bekerja seharian mencari nafkah. Rasa lelah itu bisa menghilangkan mood untuk sekadar menjawab sang anak.
Bukankah jika kita menyatakan siap punya anak, secara otomatis kita juga harus siap ‘direpoti’? Adalah salah besar jika hanya karena alasan sibuk atau capek, lalu orangtua mematikan rasa ingin tahu sang anak. Sebisa mungkin, walau sedang sibuk bekerja, kita tetap berusaha memberi perhatian pada anak. Sambil memasak, seorang ibu bisa menjawab pertanyaan anak. Sambil membersihkan rumah pun bisa terus mengobrol dengan mereka.
Sekali lagi, dalam hal ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Dalam menjawab pun kita harus menunjukkan perhatian, yang bisa ditampakkan lewat mimik muka dan cara menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.
Jawablah dengan Benar
Orangtua tak perlu memberikan jawaban panjang atau berbelit-belit, sehingga malah sulit dimengerti anak. Cukuplah menjawab pertanyaan anak dengan jawaban pendek dengan bahasa yang disesuaikan dengan pemahaman anak. Jangan pernah menjawab pertanyaan anak dengan sembarangan. Jika menjawab, jawablah dengan benar. Jika orang tua tidak tahu jawaban yang benar, tak usah mencoba berbohong. Lebih baik katakan tidak tahu, dan cobalah menerangkan di lain waktu bila jawabannya sudah didapat. Sebagaimana contoh kasus di awal tulisan ini, Abu Asma’ berusaha menjawab pertanyaan putrinya dengan jawaban-jawaban pendek yang mudah dipahami.Beruntunglah anak bila orangtuanya selalu berusaha menjawab pertanyaannya dengan benar. Selain bisa memuaskan hatinya, jawaban itu juga akan menambah pengetahuan dan wawasannya. Sayangnya, tak sedikit orangtua yang suka memberikan jawaban tidak benar pada anak. Misalnya saat Hasan (5) bertanya pada ibunya tentang gempa yang menyebabkan genting-genting di rumahnya melorot ke bawah. “Kok terjadi gempa kenapa Bu?” “Karena ada raksasa besar yang mengamuk di dalam laut, jadi bumi bergoncang.” Mungkin jawaban tersebut bisa diterima oleh daya imajinasinya, akan tetapi jawaban itu tidak menambah perbendaharaan pengetahuannya. Jawaban semacam ini sangat tidak bermanfaat, dan harus dijauhi oleh para orangtua. Seharusnya pertanyaan Hasan bisa dijawab, “Gempa itu penyebabnya bisa bermacam-macam. Salah satunya karena ada gunung meletus di daratan atau lautan, jadi bumi bergoncang.” Jika Hasan masih penasaran dengan sebab-sebab gempa lainnya, ibu bisa mencarikan referensi, misalnya buku atau majalah yang membahas tentang gempa, untuk dibacakan atau dibaca sendiri oleh Hasan.
Kemampuan Otak Balita
Mungkin kita mengira, anak-anak balita itu selain lugu juga tak tahu apa-apa tentang alam semesta kehidupannya. Tapi adalah kesalahan besar jika kita menganggap mereka bodoh, karena mereka mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan. Dari sekian banyak pertanyaannya yang dia ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya. Ya, balita memang memiliki kemampuan menangkap pengetahuan dengan hebat, karena otak mereka belum dipengaruhi untuk memikirkan hal-hal lain.Sebuah pertanyaan saja, bagi anak ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran di sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka jawabannya akan sangat berarti untuk mengasah ketajaman otaknya.
Yang perlu dikhawatirkan justru kalau anak terlalu pendiam, dan tidak ingin tahu banyak tentang segala sesuatu. Ia tidak pernah bertanya, dan tidak tertarik dengan adanya benda baru. Anak seperti ini harus ‘dipancing’ untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Orangtua bisa memulai dengan mengajukan pertanyaan, “Azmi, mengapa kalau siang tampak terang dan malam tampak gelap?” Atau, “Kamu dan ayam sama-sama punya kaki. Mengapa kamu bisa menendang bola, ayam tidak?” Dengan pertanyaan menarik diharapkan anak akan terangsang, kemudian menanyakan segala sesuatu. Makin sering orangtua memancing dengan berbagai pertanyaan menarik, tentu anak akan meniru tindakan orangtua.
Untuk mengembangkan kemampuan anak bertanya, bimbinglah anak untuk mempraktikkan kunci utama pertanyaan, yaitu 5W+1H. Yang dimaksud 5W+1H adalah what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why (mengapa) dan how (bagaimana)
Selain itu orang tua juga bisa menyediakan buku bacaan atau majalah islami untuk anak-anak. Melihat gambar-gambarnya yang menarik dan berwarna-warni, bisanya anak-anak akan tertarik untuk mempertanyakan apa yang ia lihat. Jika anak tetap belum banyak bertanya seperti yang kita harapkan, maka orangtua yang harus aktif menyakan segala sesuatu tentang gambar-gambar atau kisah di buku tersebut. Yang mesti disadari, proses ini membutuhkan waktu dan memerlukan kesabaran. Semoga kita memiliki putra-putri yang shalih dan pintar.
Agar anak memiliki aqidah yang lurus sejak dini, maka sejak kecil ia harus dididik tentang aqidah yang benar. Salah satunya dengan mengajarkan rukun iman pada anak. Anak tidak cukup diajari untuk menghafalnya, tetapi juga perlu diberi penjelasan dengan bahasa yang ia pahami.
Iman kepada Allah
Ajarkan pada anak bahwa Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada sesembahan lain bersama-Nya.Kalau di bumi dan langit ada sesembahan selain-Nya, tentu keduanya akan rusak.Ajari anak surat Al-Ikhlas (1-4), dan mintalah mereka menghafalnya sekaligus dengan artinya.
“Katakanlah, ‘Allah itu satu. Yang menjadi sandaran semua makhluk.Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.’”
Laranglah anak berbuat syirik, dan ajarkan tauhid pada mereka. Beritahukan pada anak bahwa syirik atau menyekutukan Allah azza wa jalla adalah dosa terbesar yang tak terampuni.
Perkenalkan pada anak Rabb mereka, dan bahwa Dialah yang mencipta dan memberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, memuliakan dan menghinakan, yang mengangkat dan merendahkan.
Ajarkan nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifatNya yang luhur sesuai dengan manhaj ahlussunnah waljamaah dari kalangan sahabat Rasulullah dan tabiin yang datang setelah mereka.Ajarkan pula bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy (Thaha: 5), dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu (Thaha: 98)
Sampaikan juga tentang hadits budak perempuan yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi lalu memerintahkan majikan budak itu untuk membebaskannya karena dia seorang perempuan yang beriman.
Iman kepada Malaikat
Tentang malaikat, sampaikan bahwa iman kepada malaikat adalah wajib dan membenarkan keberadaan mereka adalah suatu keharusan. Malaikat adalah hamba-hamba Allah yang mulia, yang bertasbih siang dan malam dengan tidak bosan, tidak menyombongkan diri dari ketaatan dan ibadah kepada Allah, bahkan mereka takut kepada-Nya.Sampaikan juga bahwa malaikat diciptakan dari cahaya. Mereka punya tugas-tugas yang mereka jalankan dengan Di antara mereka ada yang memikul ‘Arsy. Ada yang menjadi utusan-utusan antara Allah azza wa jallaAda yang mencatat amal dan menjaga catatan amal para hamba. Ada malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa manusia jika telah sampai ajalnya. Ada malaikat penjaga gunung dan awan. Ada yang bertugas menghadiri majelis zikir dan ilmu, menghadiri salat lima waktu dan Jumat, menguatkan hati orang-orang beriman ketika perang dengan izin Allah, menenangkan dan memberi kabar gembira orang-orang yang beriman ketika akan meninggal, menyiksa orang-orang kafir sejak keluarnya ruh, mengangkat ruh ke langit, menanyai para hamba di alam kubur, memintakan ampunan untuk orang-orang yang beriman, dan mendoakan mereka masuk surga. sebaik-baiknya. dan para nabi.
Ada pula malaikat yang menjaga surga dan neraka. Penjaga neraka adalah malaikat yang keras dan kasar, yang tidak durhaka kepada Allah dan selalu menjalankan perintah-Nya.Para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar bernyawa. Para malaikat juga mendengarkan bacaan Al-Quran, dan banyak lagi tugas lain yang dibebankan kepada mereka.
Sampaikan pula bahwa malaikat mempersaksikan keesaaan Allah dan kerasulan para Rasul-Nya. Malaikat juga menolong orang-orang yang beriman dengan izin Allah dan memberi syafaat orang-orang yang beriman dan bertauhid di hari kiamat dengan izin Allah azza wa jalla. Satu lagi, malaikat bukanlah perempuan sebagaimana yang disangka orang-orang kafir.
Keimanan pada malaikat bisa berimbas pada kebaikan akhlak. Tekankan pada diri anak, bahwa para malaikat selalu mengawasi kita, mencatat amal dan ucapan kita, sebagaimana firman Allah,
“Tidaklah satu ucapan pun diucapkan kecuali ada malaikat yang mengawasi dan mencatatnya.” (Al-Qof: 18)
Iman kepada Kitab-kitab Allah
Sampaikan kepada anak bahwa Allah azza wa jalla telah menurunkan sejumlah kitab kepada para Rasul-Nya, untuk diajarkan kepada umatnya. Di dalamnya Allah memerintahkan mereka untuk bertauhid, beriman kepada-Nya dan para rasul-Nya, dan menerangkan perkara-perkara yang halal dan haram. Terdapat pula kabar-kabar tentang orang-orang sebelum mereka, hukum yang berlaku di tengah-tengah mereka, serta dakwah kepada semua kebaikan dan peringatan dari semua kejelekan, kekafiran dan kesesatan.Di antara kitab-kitab itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Musa q, Injil kepada Isa q, dan Al-Quran kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Iman kepada Para Rasul
Beritahukan pada anak tentang para Nabi dan Rasul. Mereka diutus oleh Allah azza wa jalla kepada manusia untuk memerintahkan mereka agar bertauhid, memberi kabar gembira dengan surga bagi orang-orang yang taat di antara mereka, dan memperingatkan mereka dari syirik dan kemaksiatan.Allah telah memilih di antara Rasul-Nya sebagai ulul azmi, yaitu Ibrahim q, Nuh q, Isa q, Musa q dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Ceritakanlah tentang kisah-kisah dan mukjizat yang dimiliki para Rasul. Iman kepada seluruh rasul dan nabi adalah wajib.Barangsiapa ingkar kepada salah satunya, maka telah kafir kepada semuanya.
Semua rasul mendakwahkan satu agama yaitu menyembah Allah semata, menjauhi setan dan kesyirikan. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam setiap umat seorang rasul untuk menyeru kaumnya, ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut/setan.” (An-Nahl: 36)
Penutup para rasul itu adalah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak ada rasul lagi setelah beliau.
Iman kepada Hari Kiamat
Perbanyaklah mengingatkan anak-anak pada hari kiamat. Bila anak mengetahui bahwa kelak akan ada perhitungan, pahala dan siksa, maka dia akan berbuat kebaikan dan menjauhi kejelekan.Iman kepada hari akhir meliputi 3 hal,
Pertama, mengimani adanya kebangkitan (ba’ts) yaitu dihidupkannya kembali orang-orang yang sudah mati tatkala ditiupkan sangkakala untuk kedua kalinya. Pada hari itu seluruh manusia bangkit untuk menghadap Rabb semesta alam dalam keadaan telanjang.
Kedua, mengimani adanya hisab (perhitungan) dan jaza’ (balasan). Seluruh amal perbuatan hamba akan dihisab dan diberi balasan.
Ketiga, mengimani adanya surga dan neraka. Ceritakan pada anak tentang surga dan isinya, berupa kenikmatan yang kekal bagi penghuninya. Demikian juga neraka dan isinya yang disediakan bagi orang-orang kafir dan pendosa.
Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir adalah wajib atas setiap muslim. Perkara-perkara yang berjalan dalam kehidupan ini semuanya telah ditakdirkan dan ditulis. Ajarilah anak tentang hal ini.Ajarkan anak sebuah hadits yang artinya:
“Dan bila suatu musibah mengenai dirimu,maka jangan kamu katakan, ‘Seandainya aku lakukan ini dan ini.’ Tetapi katakanlah, ‘Qaddarallahu wa ma sya’a fa’ala’ (Allah telah takdirkan dan apa-apa yang Dia kehendaki Dia kerjakan).’ Sesungguhnya kata law (seandainya) akan membuka perbuatan setan.’” (Riwayat Muslim)
Ajarkan pada anak bahwa kebaikan dan kejelekan telah ditakdirkan. Demikian juga rezeki, telah ditakdirkan dan dibagi-bagi. Sampaikan bahwa yang memberi hidayah adalah Allah, dan bahwa penjagaan-penjagaan datangnya dari Allah. Ajal dan umur telah ditakdirkan, dan musibah telah ditulis dan ditakdirkan. Ajari anak agar ridha dengan ketentuan-ketentuan Allah azza wa jalla pada setiap keadaan.
Bila anak sakit, terkena sesuatu, atau kehilangan sesuatu, maka beritahukan bahwa semua itu telah ditakdirkan.
Akan tetapi ingatkan juga bahwa Allah telah menciptakan sebab dan akibat, karena itu jangan lupa untuk melakukan sebab-sebab kebaikan. Wallahu a’lam (Oel)Menegur Perilaku Menghargai Pelaku
Dasar bandel! Dasar anak nakal! Sudah dibilangi kalau minta susu ya diminum, dihabisin. Nggak malah ditumpahkan ke lantai seperti itu! Susu itu mahal!” Seorang ibu uring-uringan memarahi Fifi, anaknya yang baru berusia 3 tahun.ia tidak jengkel, bila lantai yang baru saja dipel kini kotor lagi oleh tumpahan susu si kecil. Si kecil pun diam sambil menatap wajah ibunya yang kecapekan. Bagaimana
Sementara seorang ayah memarahi Latif, anaknya yang kelas satu SD, setelah dilapori wali kelasnya bahwa anaknya itu ketahuan mencuri uang temannya. “Kecil-kecil sudah jadi pencuri! Mau jadi apa kamu kalau besar nanti?” Katanya sambil berkacak pinggang.Memang, mendidik anak memerlukan kesabaran ekstra. Ada kalanya orang tua kehilangan kontrol saat kondisi fisiknya lelah atau emosinya tidak stabil. Kata-kata makian terhadap anak seperti bandel, nakal, badung, dan sebagainya, seringkali meluncur tanpa dapat ditahan. Padahal, makian atau celaan seperti itu akan sangat menjatuhkan harga diri anak dan berakibat buruk bagi perkembangannya.
Mencerca Pribadi Hancurkan Harga Diri
Dalam masa perkembangannya semenjak lahir, setiap anak belajar menilai segala sesuatu. Begitu juga yang terjadi pada persoalan penilaian diri. Setiap anak akan menilai dan memandang seperti apa keadaan dirinya sendiri sesuai dengan cara pandang orang tuanya terhadap diri si anak.Apabila pribadinya sering dicerca dengan julukan-julukan burukseperti anak nakal, bengal, tak tahu aturan, pencuri, bodoh, pemalas, dan sejenisnya, maka akan terbentuk keyakinan dalam diri anak bahwa memang seperti itulah sebenarnya taraf kepribadiannya. Selanjutnya ia akan merasa wajar jika berbuat nakal, toh ayah ibu menyebutnya ‘anak nakal’.
Perkembangan buruk seperti ini bila diteruskan akan sampai pada tahap di mana anak akan selalu berusaha berperilaku sesuai anggapan terhadap kepribadiannya tersebut, sehingga ia akan merasa tak pantas jika berbuat baik, yang notabene menyalahi keyakinannya sebagai anak nakal dan bengal tersebut.
Sampai tahap ini perilaku anak bisa jadi sangat membuat orang dewasa terheran-heran, sebab ia sudah tak mempan lagi diberi nasihat dan motivasi untuk mau berbuat baik, kecuali jika perbaikan dimulai dengan mengubah cara pandangnya yang keliru dalam menghargai pribadinya sendiri. Sungguh ini sebuah perbaikan yang sulit untuk dilakukan.
Begitulah kenyataannya, bahwa setiap orang membentuk kepribadian sesuai dengan cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Itu sebabnya, akan sangat fatal akibatnya jika dalam masa perkembangan anak diberi contoh untuk menilai dirinya dengan sebutan dan panggilan yang buruk.
Anak tetap anak, sekalipun perilakunya buruk. Yang buruk adalah perilakunya, sementara pelakunya tetaplah anak baik.Jika patut dibenci, maka perilakunya yang harus dikutuk, bukan pelakunya. Sang anak sebagai pelaku tetap berhak untuk dicintai, disayangi, dan dihargai.
Jika Anak Salah, Tegur Perilakunya
Ketika seorang anak berbuat kesalahan, orang tua harus menegur ‘perilaku’ tersebut, tanpa mencela pelakunya. Anak harus mengerti letak kesalahannya. Ia harus mengerti betul bahwa orang tuanya marah, kecewa dan membenci perilaku yang baru saja dilakukannya, bukan marah dan membencinya.Agar anak tahu bahwa orang tuanya tidak menyukai perilakunya, maka sebaiknya orang tua menunjukkan perasaan kecewa, marah dan ketidaksukaannya dengan sejelas-jelasnya. Bisa dengan mimik wajah yang penuh emosi, bisa pula dengan kata-kata yang keras.
Kembali pada kedua contoh kasus di awal tulisan ini, untuk Fifi yang menumpahkan susunya, akan lebih baik bila ibu marah dengan menegur perilakunya. “Fifi, sudah ibu bilangi berkali-kali kalau menumpahkan susu itu jelek! Itu perbuatan mubadzir! Susu itu harganya mahal!”
Sedangkan untuk kasus Latif, akan lebih baik bila ayah tidak menyebutnya sebagai pencuri. “Latif, kamu kan tahu mencuri itu perbuatan buruk? Dosa! Kenapa kamu melakukannya? Kalau butuh uang, bilang sama ayah, jangan mencuri milik orang lain!”
Kedua contoh tersebut sudah dapat menggambarkan dengan jelas apa yang dirasakan oleh ayah dan ibu. Tujuannya agar anak mengerti perasaan orang tua tentang perilaku anak yang buruk itu. Di sisi lain diharapkan dalam diri anak sendiri akan timbul perasaan yang tidak enak menghadapi kemarahan orang tuanya.
Cukup Sekali Saja
Teguran orang tua cukup dinyatakan sekali saja, anak sudah bisa memahami perasaan orang tuanya. Bila pernyataan ini diulang-ulang justru akan menimbulkan kebosanan, dan anak merasa digurui. Cara mendisiplinkan anak seperti itu tidak efisien.Banyak orang tua yang merasa perlu memberi nasihat panjang lebar terhadap kesalahan anaknya, karena menangkap kesan anak tidak mendengar nasihat yang dikatakan orang tua. Anak-anak itu berbuat seenaknya, tak mendengar omelan orang tua.Tingkah anak itu membuat orang tua jengkel dan merangsangnya untuk semakin memperpanjang dan mengulang-ulang nasihat, semata-mata untuk melampiaskan kejengkelannya.
Sekali lagi, sikap orang tua sebenarnya cukup dinyatakan sekali, ditunjang ekspresi wajah tak lebih dari satu menit. Inilah bagian awal dari metode disiplin yang disebut teguran satu menit. Selanjutnya, akan tercipta suasana yang tidak menyenangkan bagi anak. Pada saat ini sebaiknya orang tua diam sejenak agar suasana yang tidak enak ini benar-benar dirasakan anak. Manfaatkan waktu ini untuk menarik nafas panjang, seakan telah usai menyelesaikan tugas berat berupa pengungkapan rasa kecewa atas perilaku anak yang buruk.
Selanjutnya, Hargai Pelakunya
Bagian berikutnya adalah saatnya menggunakan kebenaran lain selain kebenaran pertama yang telah dikatakan terlebih dahulu. Kebenaran kedua ini adalah bahwa diri anak-anak sebagai ‘pelaku’ sebenarnya tetap baik, bahwa orang tua tetap mencintai sepenuh hati, karena mereka pada dasarnya adalah anak-anak yang salih.Bagian kedua ini harus diucapkan orang tua dengan ekspresi wajah penuh kasih sayang dan kelembutan. Bila perlu dengan memeluk dan mencium, agar anak bisa langsung merasakan bahwa bagaimanapun buruknya perilaku mereka, ternyata orang tua tetap mencintainya. Pernyataan ini pun tidak perlu diulang, cukup sekali saja.
Misalnya, untuk kasus Fifi, setelah ibu marah dan menegur perilakunya yang buruk, maka sebaiknya ibu membelai kepalanya sambil berkata, “Fifi kan anak salihah, anak pintar. Lain kali jangan menumpahkan susu lagi ya sayang…”
Demikian juga untuk kasus Latif. Setelah ayah menunjukkan kemarahannya, alangkah bijaksananya bila kemudian ia memeluk anaknya itu seraya berkata, “Latif kan anak yang salih…Masa’ anak salih mencuri, nanti jadi temannya setan. Lain kali jangan diulangi lagi ya….”
Kelebihan Metode Ini
Metode teguran satu menit mempunyai banyak kelebihan.Pertama, melatih disiplin anak-anak untuk bisa meninggalkan perilaku yang buruk. Dalam setengah menit yang pertama, anak mengerti bahwa tindakannya yang buruk telah membuat orang tuanya kecewa dan marah. Peristiwa itu akan masuk ke alam memorinya, selanjutnya memorinya mencatat mana perilaku baik yang disenangi orang tua, dan mana perilaku buruk yang membuat orang tuanya kecewa dan marah.
Selanjutnya, dalam setengah menit kedua, anak segera dapat menemukan kembali citra dirinya yang positif sebagai anak yang baik. Mereka sangat menikmati belai kasih orang tua dalam selang waktu yang singkat ini. Buahnya, mereka menjadi senang dan bagga terhadap dirinya sendiri yang baik seperti kata orang tuanya.
Satu hal penting yang tak boleh dilupakan orang tua adalah semakin anak menyenangi dirinya sendiri, semakin besar kemauannya untuk berperilaku lebih baik.Keuntungan kedua, metode ini bisa digunakan sebagai alat komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak. Banyak orang tua mengeluh karena tak bisa memahami jalan pikiran anaknya. Banyak yang tak mengenal anaknya sendiri karena kemacetan komunikasi. Anak tak pernah mau menyampaikan permasalahan yang ia hadapi kepada orang tua. Dengan bantuan metode ini, sedikit demi sedikit mulai berkembang iklim keterbukaan antara orang tua dengan anak. Komunikasi pun menjadi lancar, akrab dan harmonis. Hal ini bisa terjadi karena keberanian orang tua menunjukkan perasaan terhadap anak tanpa mencerca. Dalam setengah menit pertama menyalahkan habis-habisan perilaku anak yang buruk. Tetapi setelah itu menyatakan bahwa diri pribadi anak selalu tetap baik dan dicintai orang tua.
Memang dalam praktiknya metode ini agak sulit dilakukan, karena orang tua seolah-olah harus ‘bersandiwara’. Setelah marah-marah harus mengungkapkan rasa sayang. Yang pasti, walaupun sulit, tetapi demi perkembangan jiwa anak, tentu metode ini layak untuk dibiasakan. (Oel)
10Tips Berbicara Pada Anak Agar Mereka Mendengar
1. Connect before you direct
Sebelum memberikan arahan kepada anak Anda, jongkoklah setinggi level
mata anak Anda dan tatap matanya untuk mendapatkan perhatiannya.
Ajarlah dia bagaimana untuk fokus: ‘Mary, saya butuh perhatianmu’ ,
‘Billy, saya butuh kamu mendengarkan ini’. Berikan ‘bahasa tubuh’ yang
sama saat mendengarkan mereka. Pastikan kontak mata Anda tidak terlalu
intens sehingga anak Anda menganggap pandangan mata itu sebagai cara
‘berkomunikasi’ bukan ‘mengontrol’ .
2. Address the child
Awali permintaan Anda dengan menyebutkan nama anak Anda, Lauren, bisa
tolong …
3. Stay brief
Gunakan aturan ’satu kalimat’: letakkan kata arahan di permulaan
kalimat. Semakin lama Anda bertele-tele, anak Anda semakin berperi
laku ‘tuli’ dengan isi kata-kata Anda. Terlalu banyak bicara adalah
kesalahan paling umum terjadi saat berdialog tentang suatu masalah.
Kondisi seperti ini membuat anak Anda merasa bahwa Anda sendiri tidak
terlalu yakin dengan apa yang ingin Anda sampaikan. Dan ia akan
beranggapan bahwa semakin ia membuat Anda terus bicara, semakin mudah
membuat Anda menyimpang dari pokok
masalah sebenarnya.
4. Stay simple
Gunakan kalimat-kalimat pendek dengan kata-kata yang mengandung 1 suku
kata. Cobalah dengarkan bagaimana anak-anak berkomunikasi dengan teman
sebayanya dan cermatilah caranya. Bila anak Anda sudah memperlihatkan
pandangan yang menunjukkan bahwa ia sedang tidak berminat, itu artinya
kata-kata Anda tidak lagi dimengerti olehnya.
5. Ask your child to repeat the request back to you
Jika ia tidak dapat mengulanginya, mungkin kata-kata Anda terlalu
panjang atau terlalu rumit.
6. Make an offer the child can’t refuse
Anda dapat memberikan alasan kepada seorang anak usia 2 atau 3 tahun,
khususnya untuk menghindari ‘unjuk kekuatan’ antara Anda dengannya,
misalnya: ‘Cepat berpakaian supaya kamu bisa main di luar’. Berikan
sebuah alasan untuk permintaan Anda yang memang untuk ‘keuntungan’
sang anak dan juga ’sulit untuk ditolak’ dia. Kondisi ini akan
membuatnya tidak mencoba ‘unjuk kekuatan’ dan mau melakukan apa yang
kita inginkan.
7. Be positive
Daripada mengatakan ‘Jangan lari-lari!’, cobalah dengan: ‘Di dalam
rumah kita berjalan, di luar rumah kamu boleh berlari’.
8. Begin your directives with I want.
Daripada mengatakan ‘Turun!’, cobalah dengan: Saya ingin kamu turun’.
Daripada, ‘Sekarang giliran Becky’, cobalah dengan: ‘Saya ingin kamu
beri giliran buat Becky’. Metode seperti ini berhasil baik untuk
anak-anak yang ingin bersikap baik tapi tidak suka ‘diperintah’ .
Dengan mengucapkan,
‘Saya ingin,’ Anda memberinya alasan untuk ‘rela melakukannya’
dibandingkan hanya sekadar ’sebuah perintah’.
9. When … then.
‘Setelah kamu selesai menggosok gigi, saya akan mulai membacakan
cerita’. ‘Setelah PR mu selesai, kamu boleh nonton TV’. Kata ’setelah’
yang menyatakan bahwa Anda mengharapkan ‘kepatuhan’, lebih berhasil
diterapkan dibandingkan kata ‘kalau’. Pemilihan kata ini mengondisikan
anak pada suatu pilihan, saat Anda tidak bermaksud memberinya pilihan.
10. Leg first, mouth second.
Daripada berteriak ‘Matikan TV, sekarang makan malam!’, cobalah untuk
berjalan mendekati anak, bergabung dengan keasyikannya nonton TV
sebentar,dan setelah itu, saat ada jeda iklan TV, mintalah anak Anda
mematikan TV. Berjalan mendekati anak Anda sebelum memintanya
melakukan sesuatu memiliki pesan tersirat bahwa Anda serius dengan
permintaan Anda. Jika tidak demikian, anak-anak hanya akan
menafsirkannya sebagai pilihan belaka.
1. Connect before you direct
Sebelum memberikan arahan kepada anak Anda, jongkoklah setinggi level
mata anak Anda dan tatap matanya untuk mendapatkan perhatiannya.
Ajarlah dia bagaimana untuk fokus: ‘Mary, saya butuh perhatianmu’ ,
‘Billy, saya butuh kamu mendengarkan ini’. Berikan ‘bahasa tubuh’ yang
sama saat mendengarkan mereka. Pastikan kontak mata Anda tidak terlalu
intens sehingga anak Anda menganggap pandangan mata itu sebagai cara
‘berkomunikasi’ bukan ‘mengontrol’ .
2. Address the child
Awali permintaan Anda dengan menyebutkan nama anak Anda, Lauren, bisa
tolong …
3. Stay brief
Gunakan aturan ’satu kalimat’: letakkan kata arahan di permulaan
kalimat. Semakin lama Anda bertele-tele, anak Anda semakin berperi
laku ‘tuli’ dengan isi kata-kata Anda. Terlalu banyak bicara adalah
kesalahan paling umum terjadi saat berdialog tentang suatu masalah.
Kondisi seperti ini membuat anak Anda merasa bahwa Anda sendiri tidak
terlalu yakin dengan apa yang ingin Anda sampaikan. Dan ia akan
beranggapan bahwa semakin ia membuat Anda terus bicara, semakin mudah
membuat Anda menyimpang dari pokok
masalah sebenarnya.
4. Stay simple
Gunakan kalimat-kalimat pendek dengan kata-kata yang mengandung 1 suku
kata. Cobalah dengarkan bagaimana anak-anak berkomunikasi dengan teman
sebayanya dan cermatilah caranya. Bila anak Anda sudah memperlihatkan
pandangan yang menunjukkan bahwa ia sedang tidak berminat, itu artinya
kata-kata Anda tidak lagi dimengerti olehnya.
5. Ask your child to repeat the request back to you
Jika ia tidak dapat mengulanginya, mungkin kata-kata Anda terlalu
panjang atau terlalu rumit.
6. Make an offer the child can’t refuse
Anda dapat memberikan alasan kepada seorang anak usia 2 atau 3 tahun,
khususnya untuk menghindari ‘unjuk kekuatan’ antara Anda dengannya,
misalnya: ‘Cepat berpakaian supaya kamu bisa main di luar’. Berikan
sebuah alasan untuk permintaan Anda yang memang untuk ‘keuntungan’
sang anak dan juga ’sulit untuk ditolak’ dia. Kondisi ini akan
membuatnya tidak mencoba ‘unjuk kekuatan’ dan mau melakukan apa yang
kita inginkan.
7. Be positive
Daripada mengatakan ‘Jangan lari-lari!’, cobalah dengan: ‘Di dalam
rumah kita berjalan, di luar rumah kamu boleh berlari’.
8. Begin your directives with I want.
Daripada mengatakan ‘Turun!’, cobalah dengan: Saya ingin kamu turun’.
Daripada, ‘Sekarang giliran Becky’, cobalah dengan: ‘Saya ingin kamu
beri giliran buat Becky’. Metode seperti ini berhasil baik untuk
anak-anak yang ingin bersikap baik tapi tidak suka ‘diperintah’ .
Dengan mengucapkan,
‘Saya ingin,’ Anda memberinya alasan untuk ‘rela melakukannya’
dibandingkan hanya sekadar ’sebuah perintah’.
9. When … then.
‘Setelah kamu selesai menggosok gigi, saya akan mulai membacakan
cerita’. ‘Setelah PR mu selesai, kamu boleh nonton TV’. Kata ’setelah’
yang menyatakan bahwa Anda mengharapkan ‘kepatuhan’, lebih berhasil
diterapkan dibandingkan kata ‘kalau’. Pemilihan kata ini mengondisikan
anak pada suatu pilihan, saat Anda tidak bermaksud memberinya pilihan.
10. Leg first, mouth second.
Daripada berteriak ‘Matikan TV, sekarang makan malam!’, cobalah untuk
berjalan mendekati anak, bergabung dengan keasyikannya nonton TV
sebentar,dan setelah itu, saat ada jeda iklan TV, mintalah anak Anda
mematikan TV. Berjalan mendekati anak Anda sebelum memintanya
melakukan sesuatu memiliki pesan tersirat bahwa Anda serius dengan
permintaan Anda. Jika tidak demikian, anak-anak hanya akan
menafsirkannya sebagai pilihan belaka.
Menurut saya, berikut adalah beberapa contoh dari cara mendidik anak yang kurang baik.
1. Jika anak terjatuh karena menyenggol meja, kita memukul mejanya dan mengatakan pada si kecil bahwa meja itu jahat.
atau:
kalau anak A memukul anak B sehingga si B menangis, kita akan (pura-pura) memukul si A di depan si B agar si B tidak menangis lagi.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia pendendam. Si anak juga akan terdidik untuk menjadi manusia yang tidak pernah merasa bersalah. "Pokoknya apapun yang terjadi, yang salah adalah orang lain, bukan saya!"
2. Kalau anak terjatuh, kita akan langsung menggendongnya dan melindunginya, bersikap seolah2 si anak baru saja mengalami musibah yang sangat besar.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia manja, yang tidak kuat menahan cobaan hidup. Mereka akan gampang menyerah jika menghadapi masalah.
Saya kira, biarkan sajalah kalau anak kita cuma jatuh biasa. Bilang bahwa jatuh itu biasa, dan yang ia alami tak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau jatuhnya keras sehingga kepalanya benjol, itu lain ceritanya, hehehehe...
3. Menakut-nakuti si anak akan adanya hantu.
Biasanya, cara seperti ini digunakan oleh orang tua jika anak mereka bandel atau tidak bisa diberitahu.
memang, dalam jangka pendek sikap seperti ini biasanya efektif. Tapi untuk jangka panjang, ini justru tidak baik. SI anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut. ia akan takut pada hantu, padahal hanti atau jin sebenarnya tak perlu ditakuti. Mereka adalah makhluk yang jauh lebih rendah dari manusia. Mulai sekarang, kita justru harus menamamkan pengertian pada anak bahwa hantu tak perlu ditakuti. Kita justru harus "anggap remeh" terhadap hantu.
4. Terlalu banyak melarang.
"Jangan nak, nanti kamu jatuh."
"Jangan main air dong, nanti masuk angin."
"Kok makannya belepotan gitu? Jorok tahu!"
"Itu nasi kok dibuang? Kan mubazir!"
Anak adalah jenis manusia yang sedang dalam proses belajar. Jadi wajar dong, kalau mereka sering melakukan kesalahan. Jika mereka membuang nasi misalnya, langkah terbaik bukanlah memarahi mereka dan mengatakan itu mubazir. Tapi alangkah baiknya jika kita memberitahu mereka dengan cara yang lebih menyenangkan, dan bisa diterima oleh pikiran mereka yang masih terbatas.
Terlalu banyak melarang juga akan mendidik anak menjadi manusia yang tidak berani mencoba hal-hal baru.
5. Menganggap si anak sebagai orang bodoh
Kita sering berkata, "Ah, anak kecil, Tahunya apa!"
Padahal, banyak anak kecil yang berhasil menunjukkan kehebatan mereka. Mereka berhasil membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pintar dan hebat, walau usia masih amat muda.
Saya kira, kita harus menghargai eksistensi setiap anak, apalagi kalau anak sendiri! Kita justru harus memperlakukan mereka sebagai seorang manusia yang berpotensi. Kita tak pernah tahu persis, seberapa besar ilmu pengetahuan yang sudah tersimpan di kepala anak kita. Karena itu, jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh, belum tahu apa-apa, dan sebagainya.
Dengan memperlakukan mereka secara wajar, ini akan mendidik anak menjadi seorang manusia yang percaya diri sehingga ia akan lebih mudah meraih sukses.
6. Memarahi anak jika mereka bertanya
Mungkin kita punya anak yang terlalu banyak bertanya. Karena bosan dan jengkel, kita memarahinya, mengatakan mereka cerewet, bahkan menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bertanya.
Padahal, anak yang cerewet atau sering bertanya, sebenarnya adalah anak yang sangat pintar. Mereka ingin tahu banyak hal. Karena itu, cobalah untuk bersabar menghadapi mereka. Jawablah pertanyaan2 mereka sebisa mungkin, dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara seperti ini, kreativitas dan kecerdasan anak akan tumbuh dengan sewajarnya.
1. Jika anak terjatuh karena menyenggol meja, kita memukul mejanya dan mengatakan pada si kecil bahwa meja itu jahat.
atau:
kalau anak A memukul anak B sehingga si B menangis, kita akan (pura-pura) memukul si A di depan si B agar si B tidak menangis lagi.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia pendendam. Si anak juga akan terdidik untuk menjadi manusia yang tidak pernah merasa bersalah. "Pokoknya apapun yang terjadi, yang salah adalah orang lain, bukan saya!"
2. Kalau anak terjatuh, kita akan langsung menggendongnya dan melindunginya, bersikap seolah2 si anak baru saja mengalami musibah yang sangat besar.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia manja, yang tidak kuat menahan cobaan hidup. Mereka akan gampang menyerah jika menghadapi masalah.
Saya kira, biarkan sajalah kalau anak kita cuma jatuh biasa. Bilang bahwa jatuh itu biasa, dan yang ia alami tak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau jatuhnya keras sehingga kepalanya benjol, itu lain ceritanya, hehehehe...
3. Menakut-nakuti si anak akan adanya hantu.
Biasanya, cara seperti ini digunakan oleh orang tua jika anak mereka bandel atau tidak bisa diberitahu.
memang, dalam jangka pendek sikap seperti ini biasanya efektif. Tapi untuk jangka panjang, ini justru tidak baik. SI anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut. ia akan takut pada hantu, padahal hanti atau jin sebenarnya tak perlu ditakuti. Mereka adalah makhluk yang jauh lebih rendah dari manusia. Mulai sekarang, kita justru harus menamamkan pengertian pada anak bahwa hantu tak perlu ditakuti. Kita justru harus "anggap remeh" terhadap hantu.
4. Terlalu banyak melarang.
"Jangan nak, nanti kamu jatuh."
"Jangan main air dong, nanti masuk angin."
"Kok makannya belepotan gitu? Jorok tahu!"
"Itu nasi kok dibuang? Kan mubazir!"
Anak adalah jenis manusia yang sedang dalam proses belajar. Jadi wajar dong, kalau mereka sering melakukan kesalahan. Jika mereka membuang nasi misalnya, langkah terbaik bukanlah memarahi mereka dan mengatakan itu mubazir. Tapi alangkah baiknya jika kita memberitahu mereka dengan cara yang lebih menyenangkan, dan bisa diterima oleh pikiran mereka yang masih terbatas.
Terlalu banyak melarang juga akan mendidik anak menjadi manusia yang tidak berani mencoba hal-hal baru.
5. Menganggap si anak sebagai orang bodoh
Kita sering berkata, "Ah, anak kecil, Tahunya apa!"
Padahal, banyak anak kecil yang berhasil menunjukkan kehebatan mereka. Mereka berhasil membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pintar dan hebat, walau usia masih amat muda.
Saya kira, kita harus menghargai eksistensi setiap anak, apalagi kalau anak sendiri! Kita justru harus memperlakukan mereka sebagai seorang manusia yang berpotensi. Kita tak pernah tahu persis, seberapa besar ilmu pengetahuan yang sudah tersimpan di kepala anak kita. Karena itu, jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh, belum tahu apa-apa, dan sebagainya.
Dengan memperlakukan mereka secara wajar, ini akan mendidik anak menjadi seorang manusia yang percaya diri sehingga ia akan lebih mudah meraih sukses.
6. Memarahi anak jika mereka bertanya
Mungkin kita punya anak yang terlalu banyak bertanya. Karena bosan dan jengkel, kita memarahinya, mengatakan mereka cerewet, bahkan menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bertanya.
Padahal, anak yang cerewet atau sering bertanya, sebenarnya adalah anak yang sangat pintar. Mereka ingin tahu banyak hal. Karena itu, cobalah untuk bersabar menghadapi mereka. Jawablah pertanyaan2 mereka sebisa mungkin, dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara seperti ini, kreativitas dan kecerdasan anak akan tumbuh dengan sewajarnya.
Ada baeknya juga kok, kita nganggep mereka tuh kadang sebagai teman. ajak diskusi, hal2 yang kecil yang mereka paham.. atopun saling bercerita (antara ortu dan anak) tentang apa yang masing2 lakukan dalam keseharian. tentu saja dari pihak ortu mengemasnya sedemikian rupa dalam versi anak, sehingga tetap membuat anak ceria.
Sekali tempo, boleh juga kok dibiarin ujan2.. tentu saja di bawah pengawasan kita, dan liat kondisi si anak. sebentar aja ok tuh, biar mereka ngerasain, ternyata hujan itu emang rahmat dari Allah yang harus kita syukuri, so ga bole kita melaknat hujan... hehe.. apa hubungannya neh... ada dunk ^_^
Sekali tempo, boleh juga kok dibiarin ujan2.. tentu saja di bawah pengawasan kita, dan liat kondisi si anak. sebentar aja ok tuh, biar mereka ngerasain, ternyata hujan itu emang rahmat dari Allah yang harus kita syukuri, so ga bole kita melaknat hujan... hehe.. apa hubungannya neh... ada dunk ^_^
bener juga tambahan dari Ira, jangan berbohong sama anak
emang bikin kita muter otak sih, tapi merangsang ortu untuk kreatif menyampaikan kebenaran dengan caranya masing-masing :)
jgn sampai anak kehilangan kepercayaan pada ortunya yg akhirnya bikin anak ogah sharing sama ortu ketika beranjak remaja.
emang bikin kita muter otak sih, tapi merangsang ortu untuk kreatif menyampaikan kebenaran dengan caranya masing-masing :)
jgn sampai anak kehilangan kepercayaan pada ortunya yg akhirnya bikin anak ogah sharing sama ortu ketika beranjak remaja.
Bagian yang 'melarang' itu, bisa diganti dengan menyampaikan yang 'seharusnya' atau 'sebaiknya' dan mengarahkan kepada perbuatan baik yang kita inginkan untuk dilakukan oleh anak.
Alih-alih mengatakan: "Jangan nak, nanti kamu jatuh."
Sebaiknya melakukan: dekati anak, bimbing sambil memastikan dia tidak jatuh, dan mengarahkan apa yang harus dia lakukan seperti cara melangkah, cara berpegangan, dan menyemangatinya.
Alih-alih mengatakan: "Jangan main air dong, nanti masuk angin."
Sebaiknya melakukan: dekati si anak, ajak dia cuci tangan dengan baik, kemudian arahkan ke permainan yang lain.
Alih-alih mengatakan: "Kok makannya belepotan gitu? Jorok tau!"
Sebaiknya mengatakan: "Alhamdulillah anakku makannya asyik sekali. Yuk dibantu supaya rapi makannya ya." Sambil mengarahkan gerakan tangannya.
Begitu kira-kira, semoga bermanfaat.
Alih-alih mengatakan: "Jangan nak, nanti kamu jatuh."
Sebaiknya melakukan: dekati anak, bimbing sambil memastikan dia tidak jatuh, dan mengarahkan apa yang harus dia lakukan seperti cara melangkah, cara berpegangan, dan menyemangatinya.
Alih-alih mengatakan: "Jangan main air dong, nanti masuk angin."
Sebaiknya melakukan: dekati si anak, ajak dia cuci tangan dengan baik, kemudian arahkan ke permainan yang lain.
Alih-alih mengatakan: "Kok makannya belepotan gitu? Jorok tau!"
Sebaiknya mengatakan: "Alhamdulillah anakku makannya asyik sekali. Yuk dibantu supaya rapi makannya ya." Sambil mengarahkan gerakan tangannya.
Begitu kira-kira, semoga bermanfaat.
Beberapa waktu lalu, sebelum pelaksanaan Pilkada, saya berkesempatan mewawancarai Pak Nurmahmudi Ismail, yang kini terpilih sebagai Walikota Depok. Ini adalah dalam rangka menjalankan tugas dari sebuah penerbitan yang hendak menulis biografi mantan Menteri Kehutanan ini.
Karena yang ditulis adalah biografi, maka pertanyaan saya mencakup semua aspek, mulai dari masalah pribadi hingga pandangan beliau tentang politik, dan sebagainya.
Ada sebuah pertanyaan standar yang saya ajukan ketika itu, "Apa Bapak punya kiat khusus dalam mendidik anak?" Hm, sebuah pertanyaan yang amat standar, kan? Karena itu, saya menanyakannya dengan sikap yang biasa-biasa saja, jauh dari antusias. Saya pikir, kalau wawancara ini bukan dalam rangka menulis biografi, saya akan malas mengajukan pertanyaan itu.
Lantas, sebelum beliau menjawab, saya pun sempat berpikir yang macam-macam. Ah, paling dia memberikan jawaban yang standar juga, pikir saya. Mungkin dia akan menjawab, 'Saya mendidik anak dengan keteladanan', atau 'Saya tidak mengatur cita-cia anak. Biarkan mereka yang tentukan sendiri. Orang tua tinggal mengarahkan.' Dan seterusnya dan seterusnya.
Namun, ketika jawaban demi jawaban mengalir dari mulut Pak Nur (demikian ia biasa dipanggil), saya terkesima. Saya seketika sadar bahwa berburuk sangka itu memang tidak baik. Pak Nur menjelaskan metode pendidikan anak yang unik, menarik, dan belum pernah saya dengar sebelumnya.
Berikut adalah cuplikan jawaban beliau, yang saya tulis ulang dengan kalimat sendiri.
Saya melatih anak-anak untuk mengungkapkan buah pikiran dan perasaan secara verbal, melalui praktek langsung. Sebagai misal, si anak saya suruh bertandang ke rumah pakliknya di Blitar yang memiliki kandang ayam petelor. Selama berada di sana, mereka harus membuat laporan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ternak ayam tersebut, seperti proses pemeliharaannya, penjualannya, pemberian makanan, dan sebagainya. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk bertanya tentang apa saja dan menyusun laporan atas kejadian-kejadian yang mereka alami. Dan semua ini disampaikan dalam suasana yang akrab, sambil bercanda dan bercengkerama. Kalau laporannya jelek, itu tidak masalah. Yang penting adalah latihannya. Hal-hal seperti ini diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan emosional mereka.
Sejak dini, anak-anak juga sudah saya didik untuk hidup mandiri dan mengenal realitas dunia yang sebenarnya. Pada waktu libur, mereka saya suruh bekerja magang di perusahaan tertentu. Misalnya, salah seorang anak saya pernah menginap di kantor Penerbit Asy Syaamil di Bandung. Dia melihat proses penerbitan dan percetakan secara langsung. Hal-hal seperti ini akan mendidik mereka untuk memahami bahwa segala sesuatu di dunia itu tidak datang dengan sendirinya. Ia akan melalui proses tertentu yang membutuhkan perjuangan keras, menghadapi banyak kendala, dan sebagainya. Dalam waktu dekat, saya juga berencana menempatkan anak saya menjadi kasir di swalayan, tapi belum tercapai.
Sistem nilai yang kita ajarkan pada anak, lebih sering bertentangan dengan budaya yang berlaku di masyarakat. Tayangan TV misalnya, banyak yang berpotensi merusak dan sama sekali tidak mendidik. Ini menjadi masalah jika anak-anak kita menyenangi acara-acara tersebut.
Apakah saya khawatir akan hal ini? Secara jujur, ya. Namun saya tidak serta merta melarang mereka menonton TV dan mengatakan TV itu haram. Sama sekali tidak. Saya tahu bahwa ada juga acara TV yang baik, seperti siaran berita, pertandingan olah raga, dan sebagainya. Maka, daripada melarang dan menjauhkan anak dari TV, saya memilih menempuh jalur dialog dan memberikan pemahaman. Untuk acara TV yang baik, saya ajak mereka menontonnya dan bicara tentang hal-hal bermanfaat dari acara-acara tersebut. Setelah menonton siaran berita misalnya, saya mengajak mereka berdiskusi mengenai informasi-informasi yang baru saja disiarkan. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk menyenangi siaran berita dan acara-acara TV lainnya yang bermanfaat. Sedangkan untuk acara-acara yang tidak baik, saya menunjukkan bagian mana saja dari acara tersebut yang berpotensi merusak dan tidak mendidik. Lalu secara perlahan saya mengajak mereka untuk tidak menonton acara tersebut. Jika suatu saat ketahuan menonton, saya segera menegur dengan cara yang halus dan akrab.
Nah, benar-benar sebuah kiat yang menarik, kan? Saya benar-benar salut mendengarnya. Satu hal yang saya sukai dari cara Pak Nur menjawab pertanyaan wawancara, dia selalu bertutur dengan bahasa yang umum dan universal, tidak membawa-bawa simbol-simbol agama. Padahal kita tahu, dia termasuk orang yang wawasan dan pengetahuan agamanya sangat tinggi. Ini membuat siapa saja, dari golongan mana saja, akan senang mendengarkan ucapan beliau.
Setelah mendengar penuturan beliau tentang kiat mendidik anak, saya meresapinya dengan sungguh-sungguh. Diam-diam saya berjanji untuk meneladani beliau dalam mendidik anak-anak saya kelak.
Karena yang ditulis adalah biografi, maka pertanyaan saya mencakup semua aspek, mulai dari masalah pribadi hingga pandangan beliau tentang politik, dan sebagainya.
Ada sebuah pertanyaan standar yang saya ajukan ketika itu, "Apa Bapak punya kiat khusus dalam mendidik anak?" Hm, sebuah pertanyaan yang amat standar, kan? Karena itu, saya menanyakannya dengan sikap yang biasa-biasa saja, jauh dari antusias. Saya pikir, kalau wawancara ini bukan dalam rangka menulis biografi, saya akan malas mengajukan pertanyaan itu.
Lantas, sebelum beliau menjawab, saya pun sempat berpikir yang macam-macam. Ah, paling dia memberikan jawaban yang standar juga, pikir saya. Mungkin dia akan menjawab, 'Saya mendidik anak dengan keteladanan', atau 'Saya tidak mengatur cita-cia anak. Biarkan mereka yang tentukan sendiri. Orang tua tinggal mengarahkan.' Dan seterusnya dan seterusnya.
Namun, ketika jawaban demi jawaban mengalir dari mulut Pak Nur (demikian ia biasa dipanggil), saya terkesima. Saya seketika sadar bahwa berburuk sangka itu memang tidak baik. Pak Nur menjelaskan metode pendidikan anak yang unik, menarik, dan belum pernah saya dengar sebelumnya.
Berikut adalah cuplikan jawaban beliau, yang saya tulis ulang dengan kalimat sendiri.
Saya melatih anak-anak untuk mengungkapkan buah pikiran dan perasaan secara verbal, melalui praktek langsung. Sebagai misal, si anak saya suruh bertandang ke rumah pakliknya di Blitar yang memiliki kandang ayam petelor. Selama berada di sana, mereka harus membuat laporan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ternak ayam tersebut, seperti proses pemeliharaannya, penjualannya, pemberian makanan, dan sebagainya. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk bertanya tentang apa saja dan menyusun laporan atas kejadian-kejadian yang mereka alami. Dan semua ini disampaikan dalam suasana yang akrab, sambil bercanda dan bercengkerama. Kalau laporannya jelek, itu tidak masalah. Yang penting adalah latihannya. Hal-hal seperti ini diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan emosional mereka.
Sejak dini, anak-anak juga sudah saya didik untuk hidup mandiri dan mengenal realitas dunia yang sebenarnya. Pada waktu libur, mereka saya suruh bekerja magang di perusahaan tertentu. Misalnya, salah seorang anak saya pernah menginap di kantor Penerbit Asy Syaamil di Bandung. Dia melihat proses penerbitan dan percetakan secara langsung. Hal-hal seperti ini akan mendidik mereka untuk memahami bahwa segala sesuatu di dunia itu tidak datang dengan sendirinya. Ia akan melalui proses tertentu yang membutuhkan perjuangan keras, menghadapi banyak kendala, dan sebagainya. Dalam waktu dekat, saya juga berencana menempatkan anak saya menjadi kasir di swalayan, tapi belum tercapai.
Sistem nilai yang kita ajarkan pada anak, lebih sering bertentangan dengan budaya yang berlaku di masyarakat. Tayangan TV misalnya, banyak yang berpotensi merusak dan sama sekali tidak mendidik. Ini menjadi masalah jika anak-anak kita menyenangi acara-acara tersebut.
Apakah saya khawatir akan hal ini? Secara jujur, ya. Namun saya tidak serta merta melarang mereka menonton TV dan mengatakan TV itu haram. Sama sekali tidak. Saya tahu bahwa ada juga acara TV yang baik, seperti siaran berita, pertandingan olah raga, dan sebagainya. Maka, daripada melarang dan menjauhkan anak dari TV, saya memilih menempuh jalur dialog dan memberikan pemahaman. Untuk acara TV yang baik, saya ajak mereka menontonnya dan bicara tentang hal-hal bermanfaat dari acara-acara tersebut. Setelah menonton siaran berita misalnya, saya mengajak mereka berdiskusi mengenai informasi-informasi yang baru saja disiarkan. Dengan cara seperti ini, mereka akan terlatih untuk menyenangi siaran berita dan acara-acara TV lainnya yang bermanfaat. Sedangkan untuk acara-acara yang tidak baik, saya menunjukkan bagian mana saja dari acara tersebut yang berpotensi merusak dan tidak mendidik. Lalu secara perlahan saya mengajak mereka untuk tidak menonton acara tersebut. Jika suatu saat ketahuan menonton, saya segera menegur dengan cara yang halus dan akrab.
Nah, benar-benar sebuah kiat yang menarik, kan? Saya benar-benar salut mendengarnya. Satu hal yang saya sukai dari cara Pak Nur menjawab pertanyaan wawancara, dia selalu bertutur dengan bahasa yang umum dan universal, tidak membawa-bawa simbol-simbol agama. Padahal kita tahu, dia termasuk orang yang wawasan dan pengetahuan agamanya sangat tinggi. Ini membuat siapa saja, dari golongan mana saja, akan senang mendengarkan ucapan beliau.
Setelah mendengar penuturan beliau tentang kiat mendidik anak, saya meresapinya dengan sungguh-sungguh. Diam-diam saya berjanji untuk meneladani beliau dalam mendidik anak-anak saya kelak.
Menyikapi Perang Saudara
Ketika Ismail (3) sedang asyik bermain dengan mainan barunya, tiba-tiba Husna (2), adiknya, merebutnya dengan paksa. Ismail berusaha mempertahankan mainannya tetapi Husna pun tetap ngotot mencengkeramnya. Karena jengkel, sang kakak pun ambil jalan pintas dengan memukul adiknya keras-keras.
Ismail tentu tak bisa disalahkan bila mempertahankan mainannya sekuat tenaga. Sedangkan Husna pun, dalam kaca mata orang dewasa dianggap tak salah karena memang belum mengerti. Sifat egosentrisnya masih terlalu besar sehingga ingin memiliki barang apa saja yang mereka sukai. Akan tetapi di mata kakaknya (yang juga masih kecil), adiknya jelas-jelas salah karena merebut mainan miliknya. Anak sekecil Ismail belum paham terhadap sifat egosentris yang dimiliki adiknya, bahkan juga masih dimilikinya. Yang ia pahami bahwa mainan itu adalah miliknya dan ia berhak mempertahankannya.Menghadapi hal tersebut, kadang ibu tak tahan dengan tangis adik, kemudian langsung menyuruh kakaknya mengalah.Kebijakan seperti itu jelas berat sebelah, karena kurang menghargai pola pikir kakak yang masih kecil juga.
Jika ibu memaksa kakak untuk selalu mengalah, banyak akibat negatif yang akan terjadi, seperti:1. Kakak merasa dirinya tak memiliki harga diri di mata ibu.
2. Adik tak pernah belajar mengetahui hal yang benar.
3. Kakak menyimpan dendam pada adik dan membalasnya nanti jika ada kesempatan.
4. Jika terjadi perkelahian lagi, adik cenderung mengandalkan tangisnya untuk mengadu kepada ibu agar dibela.Lalu, bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ibu/orang tua? Ibu yang bijaksana akan mencoba memahami pertengkaran ini dengan melihat persoalan dari kaca mata kedua pihak, yaitu dengan memahami bagaimana perasaan adik, juga perasaan kakak.
Beberapa hal yang bisa dilakukan di antaranya:
JANGAN SALAHKAN SATU PIHAK
Memang kakak bersalah karena memukul adiknya keras-keras, dan adik pun salah karena merebut mainan yang bukan miliknya. Karena itu, jangan hanya menyalahkan salah satu pihak. Jika ibu sedang emosi, lebih baik ibu menahan diri dengan diam. Jika tidak kuat diam, menyalahkan kedua pihak sekaligus masih lebih baik daripada hanya menyalahkan salah satunya.Pertengkaran kakak dengan adiknya adalah satu perkembangan wajar, sesuai dengan fase perkembangan psikologis mereka. Sangat sulit untuk menemukan siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi pertengkaran, karena semua merasa benar. Apalagi pola berpikir ibu, kakak, dan adik sangat berbeda, sesuai dengan fase perkembangan usia. Jadi arti kebenaran menurut kakak, adik, serta ibu pun kerap berbeda. Maka adalah sulit untuk menemukan siapa yang salah, dan tindakan itu pun tak perlu dilakukan.
JANGAN PAKSA KAKAK SELALU MENGALAH
Kakak juga masih kecil, maka pola berpikirnya yang menganggap adiknya salah pun harus dipahami. Tentu tak adil jika menyuruhnya untuk selalu mengalah. Hal itu akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwanya, karena merasa tidak pernah mendapatkan keadilan.HARGAI JIKA KAKAK BENAR
Kita tentu akan sakit hati, bila merasa benar tetapi disalahkan oleh orang lain. Sulit sekali menerima hal itu dengan lapang dada. Apalagi jika orang menyalahkan kita dengan cara memaksa. Karena itulah, ibu juga harus memahami, kakak pun mempunyai hak untuk mempertahankan mainannya. Perkara dia mau meminjamkan mainannya kepada adik, itu tergantung kebaikan hatinya.Jangan menyalahkan kebenaran yang diyakini kakak, tetapi sentuhlah empati sang kakak untuk mau berbaik hati kepada adiknya. Kebenaran yang diyakini kakak harus ibu akui. Contohnya dengan berkomentar, “Sayang, kenapa merebut mainan kakak? Padahal kakak sedang asyik main lho! Kalau adik mau pinjam, bilang dulu sama kakak.”
Dengan penghargaan seperti itu, berarti ibu sudah menghormati harga diri sang kakak. Ini memiliki arti yang sangat besar pada psikologis kakak. Karena merasa dirinya dihargai, selanjutnya ia justru lebih mudah menerima pendapat orang lain, lebih mudah memahami perasaan adiknya, dan lebih lanjut akan tumbuh empatinya.
Sebaliknya, jika kebenaran yang diyakini kakak disalahkan oleh ibu, jangan harap kakak mau menerima kata-kata ibu selanjutnya. Apalagi kakak sedang dalam keadaan emosi. Karena merasa dirinya benar tetapi tidak diakui, kakak merasa perasaannya tidak dipahami, sehingga ia semakin jengkel. Kalaupun ia menurut untuk mengalah, itu ia lakukan dengan sangat terpaksa.
TUNJUKKAN KETIDAKMENGERTIAN ADIK
Jika ibu telah berhasil menghargai pendapat yang diyakini kakak, jangan lupa pula untuk menghargai pendapat yang diyakini adik. Kalau adik meyakini bahwa setiap barang yang ia sukai harus ia dapatkan, itu bukanlah pendapat yang salah untuk usianya. Jadi, ibu pun tak bisa serta merta menyalahkan adik.Lebih baik ajaklah kakak untuk mau memahami ketidakmengertian adiknya tersebut. Ini akan mudah dilakukan jika emosi kakak sedikit mereda setelah ibu bisa menghargai perasaannya. Kepada kakak bisa diberi pengertian, “Adik kecil itu memang belum mengerti, Sayang. Ia selalu ingin merebut yang dia inginkan. Dulu waktu kamu masih kecil juga suka begitu.Kita nasihati saja dia pelan-pelan.”
TUMBUHKAN EMPATI KAKAK
Setelah emosi kakak mereda, dan ia menunjukkan tanda-tanda mau mendengar kata-kata ibu, barulah bisa disentuh perasaannya untuk menumbuhkan empati kepada adiknya.HARGAI JIKA KAKAK MAU MENGALAH
Bila akhirnya kakak mau mengalah memberikan mainan kepada adiknya, orang tua hendaknya memahami bahwa pengorbanan kakak itu bukan suatu hal yang ringan. Bagi anak-anak, bisa mengalah walau dia merasa tak salah adalah kebaikan yang sangat sulit dilakukan, mengingat hingga usia balita rasa keakuan mereka masih cukup tinggi.Sudah seharusnya ibu memberi penghargaan khusus kepada kakak jika ia berhasil melakukan kebaikan itu. Penghargaan itu bisa dengan ucapan, “Subhanallah, Kakak baik sekali. Pasti nanti Kakak banyak disukai teman.” Ibu bisa ajarkan pada adik untuk berterima kasih pada kakak. “Ayo Dik, katakan terima kasih pada Kakak, dia sudah berbaik hati pada kamu.” Bisa pula ibu memberi penghargaan lain berupa pelukan, ciuman, atau sebungkus wafer untuk kakak.
Adakalanya kakak mau mengalah pada adik tetapi masih dengan berat hati. Bibirnya cemberut, matanya memerah menahan tangis, dan ngeloyor pergi dengan kecewa. Dalam kondisi seperti ini mereka butuh ditemani. Butuh dipahami perasaannya. Maka sebaiknya ibu meluangkan waktu untuk menghibur kakak dulu. Ajak ia bicara baik-baik, beri perhatian, hibur hatinya hingga perasaan mereka bisa lebih enak.
BIASAKAN SEGERA BERMAAFAN
Lebih baik lagi, jika ibu membiasakan kakak dan adik untuk saling bermaafan. Ini bisa dilakukan jika emosi masing-masing telah mereda. Untuk bermaafan tak perlu diungkit-ungkit siapa yang salah. Yang penting tumbuhkan motivasi untuk minta maaf lebih dulu.AJARKAN ADIK DAN KAKAK TENTANG KEKELIRUANNYA DI SAAT YANG TEPAT
Tak ada gunanya memberi nasihat sewaktu pertengkaran terjadi, di saat emosi sedang membara. Orang dewasa pun sulit menerima nasihat jika hati sedang emosi. Itu sebabnya, perlu dicari waktu yang tepat, yang enak dan santai untuk membicarakan kembali kesalahan-kesalahan yang sempat mereka lakukan saat bertengkar tadi.Demikianlah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menyikapi ‘perang saudara’ antara adik dan kakak. Semoga bermanfaat.
Dibalik Gigitan Sikecil
oa…” jerit tangis kesakitan memecah keheningan senja, ketika tiba-tiba salma (2) menggigit pangkal jari telunjuk fauzan, adiknya yang baru berumur satu bulan. ibunya yang sedang melipat pakaian di sampingnya sontak kaget dan langsung mendekap erat bayinya.
Mengapa Anak Suka Menggigit?
Sebagian anak kecil usia 2-4 tahun memang suka menggigit. Mengapa anak suka menggigit? Penyebabnya bisa bermacam-macam. Di antaranya:- Cara mengekspresikan emosi
Bagi anak, menggigit adalah salah satu ekspresi emosi untuk melampiaskan kemarahan, kejengkelan atau rasa frustasi.capek, cemburu pada adik, dan sebagainya. Jadi, menggigit adalah cara dia untuk menyalurkan emosi negatif. Bisa pula karena anak memerlukan perhatian,
- Dijadikan sebagai ‘alat komunikasi’ anakAnak yang belum pandai berkomunikasi, kadang suka menggigit untuk mengungkapkan keinginan atau rasa ketidaknyamanan dalam dirinya.
- Dijadikan sebagai cara untuk memecahkan masalah
Anak juga sering menggunakan gigitannya untuk memecahkan masalah jika ia dalam keadaan terjepit. Misalnya saat anak sedang asyik bermain tiba-tiba mainannya direbut temannya. Karena marah dan tak tahu bagaimana cara mendapatkan mainannya kembali, tangan temannya digigit supaya mainannya terlepas dari tangan temannya. Dengan kata lain, anak menggigit sebagai cara untuk mempertahankan diri.
- Meniru orang lain
Bisa juga anak suka menggigit karena meniru ayah ibunya, jika mereka senang mengekspresikan rasa gemasnya dengan menggigit-gigit si anak. Meski gigitannya lembut dan disertai ungkapan sayang, yang dipahami anak adalah bahwa perilaku menggigit itu dibolehkan. Maka, ia pun menirunya. Karena itu jika kita ingin menunjukkan rasa sayang atau gemas, sebaiknya tidak dengan cara menggigit. Pelukan, ciuman, belaian dan tatapan lembut pada anak adalah tindakan yang benar untuk mengekspresikan kasih sayang dan gemas pada anak.
Luruskan dengan Disiplin
Anak-anak dalam rentang usia 2-4 tahun biasanya suka menggigit. Umumnya, gejala ini berlaku pada anak yang kurang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Ketika anak merasa takut dengan lingkungan baru, ia selalu dalam keadaan siaga untuk menggigit. Kecenderungan ini juga terjadi pada anak yang kemampuan bicaranya belum bagus. Ketika mainannya diambil temannya, ia belum bisa mengatakan, “Jangan, itu milikku!” sehingga akhirnya gigitannya yang ‘bicara’.Akan tetapi, kebiasaan menggigit ini akan berkurang, bahkan hilang dengan sendirinya, jika si anak sudah pandai bicara. Meski begitu, orang tua harus tetap memberikan perhatian kepada anak yang suka menggigit. Misalnya dengan mengatakan, “Jangan sayang, itu tidak boleh!” Sebab, kebiasaan buruk ini jika dibiarkan bisa berlanjut menjadi kebiasaan hingga anak besar. Anak pun merasa perbuatannya benar karena tidak pernah ditegur atau diberi penjelasan.
Meski demikian, menjadi kurang bijaksanan jika orang tua menghukum anak yang suka menggigit dengan cara menggigit pula. Misalnya setelah anak menggigit, orang tua pun menggigitnya dengan maksud memberi tahu betapa sakitnya jika digigit. Cara ini tentu tidak benar. Sebab, anak akan berpikir, “Kok ibuku juga menggigitku?”
Menghukum anak mestinya dimaksudkan untuk menunjukkan kesalahan anak dan memperbaiki tingkah lakunya. Orang tua tidak perlu mengancam anak semisal, “Awas, kalau menggigit lagi, ibu pukul kamu!” Lebih baik, orang tua meluruskan kebiasaan anaknya melalui kedisiplinan. Sebab, kedisiplinan akan mengajarkan bagaimana bertingkah laku yang baik.
Tentang kedisiplinan, ada tiga komponen yang mesti dipenuhi, yakni aturan, komunikasi, dan penguat positif atau konsekuensi. Dalam hal aturan, orang tua dapat mengatakan pada anaknya, “Kamu boleh bermain, tapi tidak boleh menggigit.” Untuk menyampaikan aturan tersebut, orang tua harus punya kemampuan berkomunikasi. Selanjutnya jika anak bermain dengan baik, ia perlu diberi penguat positif, misalnya pujian, pelukan, hadiah atau apa saja yang bisa memperkuat perilakunya.
Sedangkan jika anak tidak bermain dengan baik atau tetap menggigit temannya, konsekuensi pun perlu diberikan. Hanya saja, konsekuensi jangan terlalu ‘kejam’, misalnya ketika anak menggigit temannya, lalu Anda melarang ia bermain lagi ke rumah temannya itu. Anda bisa mencoba cara lain untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan mencabut sementara waktu hal-hal yang disukai anak. Seperti tidak memperbolehkannya jalan-jalan naik motor bersama abi, tidak membelikannya makanan kesukaan dan sebagainya.
Jika perilaku menggigit pada anak terjadi secara tetap dan frekuensinya cenderung meningkat, berarti anak memerlukan penanganan serius. Anak perlu dibawa ke psikolog untuk diperiksa, apakah ada kesulitan dalam bicara atau mungkin ada masalah dengan kemampuan mentalnya. Biasanya, anak cacat mental lebih lambat bicara dan frekuensi menggigitnya lebih tinggi. Anak kemudian akan dievaluasi kondisi psikologisnya, misalnya dilihat potensi kecerdasan dan kepribadiannya.
Tips Agar Anak Tidak Suka Menggigit
Berikut beberapa tips yang bisa dicoba agar anak tidak suka menggigit:- Ciptakan suasana nyaman
Adanya suasana nyaman akan membuat perasaan anak juga lebih nyaman dan rileks. Hal ini bisa meminimalkan timbulnya emosi negatif, sehingga anak pun tidak merasa perlu untuk menggigit.
- Jaga kondisi psikologisnyaSejak dini orang tua perlu menjaga kondisi psikologis anak. Jika marah, hindari memarahinya dengan membentaknya atau merendahkan harga dirinya. Tegurlah perilakunya tanpa mencela dirinya. Selain itu, jika orang tua sedang ada masalah atau marahan, sebaiknya jangan diperlihatkan di hadapan si kecil.
- Beri perhatian cukup
Kadang si kecil menggigigit untuk mencari perhatian. Karena itu berilah ia perhatian yang cukup. Sesekali (kalau tidak bisa sering), luangkanlah waktu untuk menemaninya bermain. Jaga jangan sampai anak kurang perhatian, lebih-lebih setelah iaSebagai orang tua, sebisa mungkin berlaku adillah, khususnya dalam memberikan perhatian kepada anak-anak. punya adik.
- Perhatikan pola makannyaAnak harus dibiasakan untuk makan secara teratur, dan jaga agar jangan sampai ia kelaparan. Sebab, bisa jadi anak menggigit untuk memberi tahu bahwa ia lapar. Selain itu, pola makan yang baik dan teratur juga akan sangat bermanfaat untuk menjaga kondisi kesehatannya.
- Berikan waktu istirahat yang cukup
Kondisi fisik yang lelah bisa mempengaruhi emosi anak. Karena itu anak harus dijaga jangan sampai kelelahan. Berikan waktu istirahat yang cukup untuknya. Misalnya dengan menyuruhnya tidur siang minimal 2 jam, dan tidur malam sehabis isya’, jangan terlalu malam.
- Latih anak untuk berkomuniksi dan mengungkapkan emosiAgar tidak terbiasa menggigit, anak perlu dilatih berkomunikasi dan mengungkapkan emosi sejak dini. Rajin membacakan buku cerita merupakan salah satu cara yang efektif untuk melatih anak berkomunikasi.
Itulah beberapa hal yang bisa kita lakukan agar anak tidak suka menggigit. Semoga bermanfaat.
Ingin cerita pengalaman saya dengan anak saya Razi. Saya bukan ahli pendidikan, jadi caranya saya meraba-raba saja.
Karena buat anak2 seperti anak kita susah dijelaskan "salah" atau "benar", waktu anak saya Razi dulu waktu masih kecil saya menerapkan "boleh" dan "tidak boleh"
lebih dulu, meski dia tidak ngerti. Saya membatasi ( seperti pernah juga dulu saya cerita ) hal yang "tidak boleh" dilakukannya sesedikit mungkin : yang membahayakan dirinya atau yang membahayakan orang lain ditambah bila hal yang dilakukannya tidak sopan. Diluar itu semua "boleh" ( kawatir kalau banyak yang tidak boleh malah membuat dia tidak berkembang samasekali). Untuk anak saya, saya pikir berhasil, karena sekarang ( 13 tahun ) dia patuh dan juga sayang kepada kami orang tuanya.
Yang jelas harus ada kesatuan pendapat antara Bapaknya dan Ibunya. jangan sampe yang "boleh" sama ibunya tapi "tidak boleh " sama bapaknya. Akibatnya si Bapak meghukum, si ibu membela, maka si anak akan bingung.
Untuk yang "tidak boleh" disamping dengan mulut dan ekspresi marah, saya juga menggunakan tangan ( cara ini mungkin banyak ibu atau bapak anggota milis yang tidak setuju, apa boleh buat ). Kalau hal itu dilakukannya maka sambil melarang saya memukul pantatnya atau kalau tidak mempan saya akan mecubit pantatnya sampai dia nangis, lalu saya biarkan nangis sampai berhenti. Saya larang siapa saja membujuk, atau berlaku manis dalam kurun waktu itu, termasuk ibunya. kalau diulang lagi saya akan kembali memukul atau mencubit pantatnya juga sampai dia nangis.
Sesudah dia merasa tidak ada yang membelanya dan berhenti menangis baru saya perlakukan kembali sebagaimana biasa, merangkulnya atau bicara dengan dia, untuk menunjukkan bahwa saya sebenarnya sangat sayang sama dia.
Ada beberapa hal yang "tidak boleh" itu dilakukannya di tempat publik misalnya di pertemuan keluarga, di supermarket atau bahkan disekolahnya. Saya tetap
menghukumnya ( meski isteri saya marah-2 pada saya, karena malu ) dengan cara itu ditempat kejadian. Misalnya di supermarket dia mengayun-2 kan kayu panjang tanpa peduli dengan orang yang rame disekelilingnya.
Sesudah agak gedean ( umur 6 - 8 tahun ) dia main perosotan di pegangan tangga antar lantai atau lari2 naik turun eskalator yang lagi jalan. Saya uber dan saya pukul
ditempat itu juga. Mungkin pengunjung melihat saya seperti ayah yang kejam yang senang mukul anak. Apa boleh buat, masalahnya kalau saya tunggu sampe ke rumah baru marah, karena rentang ingatannya yang pendek, kalo dirumah mungkin dia bingung saya marahin dia soal apa ( dia sudah lupa kelakuannya di keramaian diatas ), jadi bisa jadi kemarahan saya tidak efektip.
Atau di rumah, meniru yang dilakukan tukang memperbaiki genteng rumah saya, pernah dua kali anak saya naik ke atas genteng ( waktu saya ada dirumah ) dan jalan mondar mandir di puncak atap dengan santai sampe tukang becak dan tetangga yang ada disekitar rumah teriak2 menyuruh turun ( ini juga dulu pernah saya ceritakan ). saya bujukin dia supaya turun, saya janjikan Mc Donald, pizza atau apa saja yang dia suka. Begitu dia menginjak lantai saya "hajar" pantatnya sampai dia nangis dengan ekspresi marah.
Baru sesudah reda tangisnya dan juga kemarahan saya ( lebih tepat ketakutan saya ), saya bawa dia membeli yang saya janjikan itu, cukup jauh tempatnya lebih kurang sejam naik mobil ke BSD atau Bintaro dari rumah saya di Pamulang. Padahal makannya cuma butuh waktu lima menit, belum keluar dari lapangan parkir, yang dimakannya udah habis.
Yang tidak sopan, pernah satu kali di mesjid dia menunjuk-2 ke arah mulut seorang Bapak2 yang sudah agak tua. Si Bapak mulutnya sumbing. Saya coba jelaskan, bahwa mulut Bapak itu luka, belum sembuh. Dia seperti terpesona terus memelototi si bapak. Akhirnya saya angkat tangan saya, sambil ngomong : kalau terus begitu Razi nanti saya pukul. Baru dia berhenti ngeliat si bapak. Jadi saya urung memukulnya.
Syukurlah, paling banyak dua atau tiga kali saya perlu menghukum untuk kelakuan yang sama. Sisanya bila ada yang "tidak boleh" dilakukannya, paling paling saya cuma perlu ngomong atau dengan gerak mengancam mengangkat tangan saya siap memukul dia langsung surut. Dan lebih syukur lagi beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi saya harus menggunakan tangan seperti dulu itu, dia sudah ngerti
kalau dibilang tidak boleh dan sekarang sudah mengerti sedikit demi sedikit "salah" dan "benar". Dia bisa membedakan kalau saya lagi bercanda, atau lagi marah.
Kalau saya tendang pantatnya secara main2, dia pasti nguber saya buat ngebalas. Tapi kalo dia liat saya marah, dia sudah buru2 minta maaf, biarpun saya tidak nyenggol
dia sekalipun.
Biar bagaimana Bu, ini cara yang pernah saya terapkan buat anak saya. belum tentu berhasil buat yang lain. Kalau terpaksa, mungkin Ibu bisa pake cara ini, kalo ada cara lain yang kurang "vulgar", ya lebih baik pake cara itu.
Karena buat anak2 seperti anak kita susah dijelaskan "salah" atau "benar", waktu anak saya Razi dulu waktu masih kecil saya menerapkan "boleh" dan "tidak boleh"
lebih dulu, meski dia tidak ngerti. Saya membatasi ( seperti pernah juga dulu saya cerita ) hal yang "tidak boleh" dilakukannya sesedikit mungkin : yang membahayakan dirinya atau yang membahayakan orang lain ditambah bila hal yang dilakukannya tidak sopan. Diluar itu semua "boleh" ( kawatir kalau banyak yang tidak boleh malah membuat dia tidak berkembang samasekali). Untuk anak saya, saya pikir berhasil, karena sekarang ( 13 tahun ) dia patuh dan juga sayang kepada kami orang tuanya.
Yang jelas harus ada kesatuan pendapat antara Bapaknya dan Ibunya. jangan sampe yang "boleh" sama ibunya tapi "tidak boleh " sama bapaknya. Akibatnya si Bapak meghukum, si ibu membela, maka si anak akan bingung.
Untuk yang "tidak boleh" disamping dengan mulut dan ekspresi marah, saya juga menggunakan tangan ( cara ini mungkin banyak ibu atau bapak anggota milis yang tidak setuju, apa boleh buat ). Kalau hal itu dilakukannya maka sambil melarang saya memukul pantatnya atau kalau tidak mempan saya akan mecubit pantatnya sampai dia nangis, lalu saya biarkan nangis sampai berhenti. Saya larang siapa saja membujuk, atau berlaku manis dalam kurun waktu itu, termasuk ibunya. kalau diulang lagi saya akan kembali memukul atau mencubit pantatnya juga sampai dia nangis.
Sesudah dia merasa tidak ada yang membelanya dan berhenti menangis baru saya perlakukan kembali sebagaimana biasa, merangkulnya atau bicara dengan dia, untuk menunjukkan bahwa saya sebenarnya sangat sayang sama dia.
Ada beberapa hal yang "tidak boleh" itu dilakukannya di tempat publik misalnya di pertemuan keluarga, di supermarket atau bahkan disekolahnya. Saya tetap
menghukumnya ( meski isteri saya marah-2 pada saya, karena malu ) dengan cara itu ditempat kejadian. Misalnya di supermarket dia mengayun-2 kan kayu panjang tanpa peduli dengan orang yang rame disekelilingnya.
Sesudah agak gedean ( umur 6 - 8 tahun ) dia main perosotan di pegangan tangga antar lantai atau lari2 naik turun eskalator yang lagi jalan. Saya uber dan saya pukul
ditempat itu juga. Mungkin pengunjung melihat saya seperti ayah yang kejam yang senang mukul anak. Apa boleh buat, masalahnya kalau saya tunggu sampe ke rumah baru marah, karena rentang ingatannya yang pendek, kalo dirumah mungkin dia bingung saya marahin dia soal apa ( dia sudah lupa kelakuannya di keramaian diatas ), jadi bisa jadi kemarahan saya tidak efektip.
Atau di rumah, meniru yang dilakukan tukang memperbaiki genteng rumah saya, pernah dua kali anak saya naik ke atas genteng ( waktu saya ada dirumah ) dan jalan mondar mandir di puncak atap dengan santai sampe tukang becak dan tetangga yang ada disekitar rumah teriak2 menyuruh turun ( ini juga dulu pernah saya ceritakan ). saya bujukin dia supaya turun, saya janjikan Mc Donald, pizza atau apa saja yang dia suka. Begitu dia menginjak lantai saya "hajar" pantatnya sampai dia nangis dengan ekspresi marah.
Baru sesudah reda tangisnya dan juga kemarahan saya ( lebih tepat ketakutan saya ), saya bawa dia membeli yang saya janjikan itu, cukup jauh tempatnya lebih kurang sejam naik mobil ke BSD atau Bintaro dari rumah saya di Pamulang. Padahal makannya cuma butuh waktu lima menit, belum keluar dari lapangan parkir, yang dimakannya udah habis.
Yang tidak sopan, pernah satu kali di mesjid dia menunjuk-2 ke arah mulut seorang Bapak2 yang sudah agak tua. Si Bapak mulutnya sumbing. Saya coba jelaskan, bahwa mulut Bapak itu luka, belum sembuh. Dia seperti terpesona terus memelototi si bapak. Akhirnya saya angkat tangan saya, sambil ngomong : kalau terus begitu Razi nanti saya pukul. Baru dia berhenti ngeliat si bapak. Jadi saya urung memukulnya.
Syukurlah, paling banyak dua atau tiga kali saya perlu menghukum untuk kelakuan yang sama. Sisanya bila ada yang "tidak boleh" dilakukannya, paling paling saya cuma perlu ngomong atau dengan gerak mengancam mengangkat tangan saya siap memukul dia langsung surut. Dan lebih syukur lagi beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi saya harus menggunakan tangan seperti dulu itu, dia sudah ngerti
kalau dibilang tidak boleh dan sekarang sudah mengerti sedikit demi sedikit "salah" dan "benar". Dia bisa membedakan kalau saya lagi bercanda, atau lagi marah.
Kalau saya tendang pantatnya secara main2, dia pasti nguber saya buat ngebalas. Tapi kalo dia liat saya marah, dia sudah buru2 minta maaf, biarpun saya tidak nyenggol
dia sekalipun.
Biar bagaimana Bu, ini cara yang pernah saya terapkan buat anak saya. belum tentu berhasil buat yang lain. Kalau terpaksa, mungkin Ibu bisa pake cara ini, kalo ada cara lain yang kurang "vulgar", ya lebih baik pake cara itu.
Nimbrung juga, menurut pengalaman saya selama ini, seorang Bapak, walaupun hanya mencubit secara pelan keanak itu akan mengakibatkan trauma yang besar buat anak itu. Contoh ga sengaja Papanya Andro pernah mencubit kecil kakaknya Andro yang paling besar, karena kenakalannya, sehingga waktu dia nakal lagi, dan Papanya mau cubit, dia sudah lari ketakutan, apalagi denger suara besar dengan nada tinggi.
Tapi kalau kita/Ibu, walaupun dengan udah suara dengan nada Tenor tetep aja ga digubris. Sejak itu saya tidak pernah memperbolehkan Papanya memarahi karena tugas marah itu tugas saya, dan itu memang ada dalam nasehat Rasul.
Dan ini juga saya terapkan dari pengalaman orang tua saya, saya sangat takut sekali kalau Bapak saya sudah bersuara dengan suara keras, tugas marah adalah mama. Bapak saya ga pernah marahiin anaknya, tapi kami semua hormat dan sayang sama beliau serta bangga, kami tidak pernah merasakan pukulannya sedikitpun, pada hal anaknya termasuk saya adalah anak yang bandel banget. Bila menegurpun dengan bijaksana, ada pengalaman saya, saya selalu setel tape/radio or TV dengan suara
keras, Bapak hanya menegur " Er... tetangga sebelah TV mereka lebih besar loh, tapi suaranya ga kedengeran tuch sampai luar" akhirnya saya hanya malu sendiri dan mengecilkan suara TV.
Dengan Andro juga saya begitu, misalnya dia saya tidak perbolehkan makan atau main yang membahayakan, tapi tetep ngotot, maka baru saya bilang "Boleh kok Andro makan ini, tapi nanti Badan Andro sakit" biasanya dia ga ngotot lagi.
Sekarang anak-anak tahu kalau saya sudah panggil mereka dengan nama
lengkap, tandanya saya sudah marah ! baru dech ada sahutan dari mereka.
Tapi kalau kita/Ibu, walaupun dengan udah suara dengan nada Tenor tetep aja ga digubris. Sejak itu saya tidak pernah memperbolehkan Papanya memarahi karena tugas marah itu tugas saya, dan itu memang ada dalam nasehat Rasul.
Dan ini juga saya terapkan dari pengalaman orang tua saya, saya sangat takut sekali kalau Bapak saya sudah bersuara dengan suara keras, tugas marah adalah mama. Bapak saya ga pernah marahiin anaknya, tapi kami semua hormat dan sayang sama beliau serta bangga, kami tidak pernah merasakan pukulannya sedikitpun, pada hal anaknya termasuk saya adalah anak yang bandel banget. Bila menegurpun dengan bijaksana, ada pengalaman saya, saya selalu setel tape/radio or TV dengan suara
keras, Bapak hanya menegur " Er... tetangga sebelah TV mereka lebih besar loh, tapi suaranya ga kedengeran tuch sampai luar" akhirnya saya hanya malu sendiri dan mengecilkan suara TV.
Dengan Andro juga saya begitu, misalnya dia saya tidak perbolehkan makan atau main yang membahayakan, tapi tetep ngotot, maka baru saya bilang "Boleh kok Andro makan ini, tapi nanti Badan Andro sakit" biasanya dia ga ngotot lagi.
Sekarang anak-anak tahu kalau saya sudah panggil mereka dengan nama
lengkap, tandanya saya sudah marah ! baru dech ada sahutan dari mereka.
Saya juga mau ikutan sharing....sebelumnya saya minta maaf kalau apa yang saya ceritakan keluar dari jalur "Anak2 Spesial" tapi ini masih berhubungan dengan anak2 tersayang..
Masa kecil saya penuh warna dari mulai kebahagiaan karena saya anak tunggal sampai kesedihan..karena orangtua yang masih muda ...blm mempunyai sikap kedewasaan (Ortuku menikah usia 17thn & usia 18thn sdh dikarunia anak).
Papaku sangat temperamen.sekali sekecil apapun kesalahan yang saya buat pasti saya kena tamper dimuka / rambut dijambak dll, tidak peduli itu ditempat siapa / dimana, yang jelas..saya harus siap setiap hari kena tamparan atau jambakan di rambut (Rambut saya panjang) & pasti anak dibawah umur 12thn akan selalu ada tingkah & lakunya yang membuat ortu marah / kesal. & Jadilah..saya kenyang menerima itu semua..
Mama saya..bukan tidak peduli tapi tidak bisa berbuat apa2 malah semua tambah parah & kacau .. karena setiap hari selalu ada ketidakcocokan antara Mama & Papa, hampir setiap hari selalu ada piring terbang, kaca pecah atau apapun rusak karena pertengkaran ortuku..
Dari semenjak saat itu saya bertekad bahwa saya harus bisa hidup & berhasil ..Alhamdulillah walaupun tertatih-tatih & Airmata saya bisa menyelesaikan sekolah dengan bantuan beberapa Tente & Om yang bersimpatik atas keadaan saya.
Sampai saat ini�saya akan menangis kalau mengingat semua itu..
Saat sekarang, jika Daffa anak saya bertingkah hal yang membuat saya marah., emosi saya sering tidak terkendali karena kadang saya merasa kalau anak harus dipukul seperti papa saya dulu untuk membuat saya jera..tapi kembali saya tersentak apa yang didapat oleh anak tsb apakah jera??? atau trauma???
Dan akibat yang terparah.saya tidak pernah merasa rindu yang amat sangat..pada mereka karena saya tidak pernah merasa dekat..
Tapi apapun yang terjadi itu jalan hidup..& saya harus menjalaninya Dan apapun masa lalu saya...mereka tetap ORTU saya yang jauh dilubuk hati saya, saya tetap sayangi...
Saya berpesan mengingat masa lalu saya yang penuh dengan hukuman.. .ingatlah bahwa hukuman tidak akan menyelesaikan masalah... yang ada hanya akan menambah masalah di kemudian hari...
Ini hanya sharing..& mudah2an ada manfaatnya...
Masa kecil saya penuh warna dari mulai kebahagiaan karena saya anak tunggal sampai kesedihan..karena orangtua yang masih muda ...blm mempunyai sikap kedewasaan (Ortuku menikah usia 17thn & usia 18thn sdh dikarunia anak).
Papaku sangat temperamen.sekali sekecil apapun kesalahan yang saya buat pasti saya kena tamper dimuka / rambut dijambak dll, tidak peduli itu ditempat siapa / dimana, yang jelas..saya harus siap setiap hari kena tamparan atau jambakan di rambut (Rambut saya panjang) & pasti anak dibawah umur 12thn akan selalu ada tingkah & lakunya yang membuat ortu marah / kesal. & Jadilah..saya kenyang menerima itu semua..
Mama saya..bukan tidak peduli tapi tidak bisa berbuat apa2 malah semua tambah parah & kacau .. karena setiap hari selalu ada ketidakcocokan antara Mama & Papa, hampir setiap hari selalu ada piring terbang, kaca pecah atau apapun rusak karena pertengkaran ortuku..
Dari semenjak saat itu saya bertekad bahwa saya harus bisa hidup & berhasil ..Alhamdulillah walaupun tertatih-tatih & Airmata saya bisa menyelesaikan sekolah dengan bantuan beberapa Tente & Om yang bersimpatik atas keadaan saya.
Sampai saat ini�saya akan menangis kalau mengingat semua itu..
Saat sekarang, jika Daffa anak saya bertingkah hal yang membuat saya marah., emosi saya sering tidak terkendali karena kadang saya merasa kalau anak harus dipukul seperti papa saya dulu untuk membuat saya jera..tapi kembali saya tersentak apa yang didapat oleh anak tsb apakah jera??? atau trauma???
Dan akibat yang terparah.saya tidak pernah merasa rindu yang amat sangat..pada mereka karena saya tidak pernah merasa dekat..
Tapi apapun yang terjadi itu jalan hidup..& saya harus menjalaninya Dan apapun masa lalu saya...mereka tetap ORTU saya yang jauh dilubuk hati saya, saya tetap sayangi...
Saya berpesan mengingat masa lalu saya yang penuh dengan hukuman.. .ingatlah bahwa hukuman tidak akan menyelesaikan masalah... yang ada hanya akan menambah masalah di kemudian hari...
Ini hanya sharing..& mudah2an ada manfaatnya...
Wah, untung sunah rasul bilang bahwa tugas memarahi ada di ibu...dalam
kasusku adanya itu di rumah
Buat ibu Ri di balikpapan, saya saran untuk cari 'tempat muntah' (ember) menumpahkan isi hati dan gundah gulana. Boleh psikolog, psikiater, ulama, temen, sahabat, kerabat. Tapi pastikan orang tersebut bisa dijamin ga' cerita-cerita kemana-mana masalah kita. Soalnya kalau saya sendiri sudah sampai di ubun-ubun permasalahannya tapi bisa cerita ke orang lain, rasanya lebih enak...
Just a thought. Semoga berkenan.
kasusku adanya itu di rumah
Buat ibu Ri di balikpapan, saya saran untuk cari 'tempat muntah' (ember) menumpahkan isi hati dan gundah gulana. Boleh psikolog, psikiater, ulama, temen, sahabat, kerabat. Tapi pastikan orang tersebut bisa dijamin ga' cerita-cerita kemana-mana masalah kita. Soalnya kalau saya sendiri sudah sampai di ubun-ubun permasalahannya tapi bisa cerita ke orang lain, rasanya lebih enak...
Just a thought. Semoga berkenan.
Saya setuju dengan cara pak Ro memberitahu (memperingatkan) si anak saat dia melakukan kesalahan (dimana saja, langsung on the spot). Tapiii.... caranya "main pukul" sepertinya kurang tepat.
Anak ASD punya kelemahan dalam membaca ekspresi wajah, sehingga memang kalau marah sambil melotot saja, bisa jadi anak gak bakalan ngerti.
Sebagai gantinya kita bisa "pegang erat" lengan anak dan gunakan suara keras dan tegas misalnya. Jangan lupa anak ASD punya kelebihan dalam "daya ingat" dan "meniru". saya khawatir malah secara tidak sadar anak juga akan jadi terbiasa dengan cara orang tua memperlakukan dia (secara kasar).
Cara tiap orang tua memang bisa berbeda-beda dalam mendidik anak, tapi sebisa mungkin kita tidak pake cara kasar..... daripada akhirnya kita menyesal di kemudian hari.
Cerita bu Ri di atas yang sampai menimbulkan trauma, mudah-mudahan bisa jadi "pelajaran" bagi kita. Syukur juga ibu Ri selalu ingat bahwa apa yang dilakukan papa dulu pada ibu tidak ikut diterapkan pada Daffa. Terima kasih bu, sudah mau sharing pengalaman pribadi.
Anak ASD punya kelemahan dalam membaca ekspresi wajah, sehingga memang kalau marah sambil melotot saja, bisa jadi anak gak bakalan ngerti.
Sebagai gantinya kita bisa "pegang erat" lengan anak dan gunakan suara keras dan tegas misalnya. Jangan lupa anak ASD punya kelebihan dalam "daya ingat" dan "meniru". saya khawatir malah secara tidak sadar anak juga akan jadi terbiasa dengan cara orang tua memperlakukan dia (secara kasar).
Cara tiap orang tua memang bisa berbeda-beda dalam mendidik anak, tapi sebisa mungkin kita tidak pake cara kasar..... daripada akhirnya kita menyesal di kemudian hari.
Cerita bu Ri di atas yang sampai menimbulkan trauma, mudah-mudahan bisa jadi "pelajaran" bagi kita. Syukur juga ibu Ri selalu ingat bahwa apa yang dilakukan papa dulu pada ibu tidak ikut diterapkan pada Daffa. Terima kasih bu, sudah mau sharing pengalaman pribadi.
Bu LM & Bu DP,
Trimakasih.....
Alhamdulillah...saya punya teman yang banyak....& sekarang ada PK....
Sekali lagi....Trimakasih.....saya sudah bisa menceritakan semuanya....
----- Original Message -----
From: Muh. C
To: peduli-autis
Subject: [Puterakembara] Re: Menghukum anak....TRAUMA s.d TUA
Bu Ri, Bu LM n Bu DP,
Sori ikut nimbrung yach dan juga sudah hampir 2 bulan nggak ikut nimbrung.
Karena topiknya menarik, saya juga mau sharing ...
Aldi 6 thn yang pasti TAKUTNYA hanya sama mamanya, krn memang yang suka menghukum (saya pakai bahasa menghukum sebagai bhs halus utk memukul) adalah MAMAnya, karena saya TIDAK PERNAH sekalipun menghukum dia (kecuali reflex).
Tapi para Ibu , saya juga bingung, karena kalau dia sedang melakukan aktivitas planetnya seperti lari2....atau ngremeng sendiri....dia hanya berhenti kalau mamanya yg kasih kode...kalau saya yg kasih kode...no reken bu. Tapi emang pola yg muncul..SETIAP kali mamanya menghukum ...pasti Aldi larinya ke saya...atau meminjam istilah mamanya..mohon perlindungan ke saya.
Dan memang juga ...3 bulan terakhir ini ..trendnya ...Aldi ... semakin manja dengan saya ...jadi kalau saya pas ada di sby....PASTI ulah dan polahnya seperti anak normal yg manja sama papanya.
So, what should i do ..........melarang mamanya menghukum...saya juga BT sendiri ...karena emang nggak bisa diam anaknya ...menghukum...saya sedih sendiri....akhirnya kaya pribahasa...dimakan ibu mati ....nggak dimakan bapak mati....
Trimakasih.....
Alhamdulillah...saya punya teman yang banyak....& sekarang ada PK....
Sekali lagi....Trimakasih.....saya sudah bisa menceritakan semuanya....
----- Original Message -----
From: Muh. C
To: peduli-autis
Subject: [Puterakembara] Re: Menghukum anak....TRAUMA s.d TUA
Bu Ri, Bu LM n Bu DP,
Sori ikut nimbrung yach dan juga sudah hampir 2 bulan nggak ikut nimbrung.
Karena topiknya menarik, saya juga mau sharing ...
Aldi 6 thn yang pasti TAKUTNYA hanya sama mamanya, krn memang yang suka menghukum (saya pakai bahasa menghukum sebagai bhs halus utk memukul) adalah MAMAnya, karena saya TIDAK PERNAH sekalipun menghukum dia (kecuali reflex).
Tapi para Ibu , saya juga bingung, karena kalau dia sedang melakukan aktivitas planetnya seperti lari2....atau ngremeng sendiri....dia hanya berhenti kalau mamanya yg kasih kode...kalau saya yg kasih kode...no reken bu. Tapi emang pola yg muncul..SETIAP kali mamanya menghukum ...pasti Aldi larinya ke saya...atau meminjam istilah mamanya..mohon perlindungan ke saya.
Dan memang juga ...3 bulan terakhir ini ..trendnya ...Aldi ... semakin manja dengan saya ...jadi kalau saya pas ada di sby....PASTI ulah dan polahnya seperti anak normal yg manja sama papanya.
So, what should i do ..........melarang mamanya menghukum...saya juga BT sendiri ...karena emang nggak bisa diam anaknya ...menghukum...saya sedih sendiri....akhirnya kaya pribahasa...dimakan ibu mati ....nggak dimakan bapak mati....
Anak saya, Filan (3,5 th) juga hanya nurut sama saya. Sama papanya nurut kadang-kadang. Sama kakek dan neneknya manja banget. Selama ini saya pake jurus Bu Ita untuk menegur dengan INTONASI SUARA yang tegas. Kadang kalau jengkel banget, saya cubit kecil pantatnya (yang ini jarang). paling saya cuma bilang "Filan mau dicubit kecil?" Biasanya ia spontan bilang "nggak..."
Misalnya: dia suka sekali main air (ngepel, cuci-cuci mainan, dll). Kalau udara lagi cerah sih gak papa. Tapi kalau lagi dingin n musim hujan kayak sekarang, kan bisa masuk angin. Saya akan bilang "Filan, tidak main air. Sekarang dingin, nanti bisa masuk angin" dengan gaya tegas sambil langsung angkat dia keluar dari kamar mandi. Biasanya sih, dia nurut sambil bilang "Iya..." walau besoknya main air lagi
Tapi kalau yang mengatakan itu papa atau kakek/nenek, ia cuek aja.
Kalau akhirnya diangkat, ia pasti nangis and marah.
In
Misalnya: dia suka sekali main air (ngepel, cuci-cuci mainan, dll). Kalau udara lagi cerah sih gak papa. Tapi kalau lagi dingin n musim hujan kayak sekarang, kan bisa masuk angin. Saya akan bilang "Filan, tidak main air. Sekarang dingin, nanti bisa masuk angin" dengan gaya tegas sambil langsung angkat dia keluar dari kamar mandi. Biasanya sih, dia nurut sambil bilang "Iya..." walau besoknya main air lagi
Tapi kalau yang mengatakan itu papa atau kakek/nenek, ia cuek aja.
Kalau akhirnya diangkat, ia pasti nangis and marah.
In
ebagai psikolog, cuma mau ngingetin bahwa punishment fisik bisa berbuntut panjang di psikis anak:
1. ekspresi sayang bila dilakukan melalui pemukulan adalah hal yang
WAJAR, bisa-bisa tuanya dia mukulin bini dan anak-anaknya juga dengan
alasan untuk disiplin dsb... kena UU kekerasan dalam rumah tangga,
pak...penjara, euy. Dia, pak yang dipenjara. Kasihan atuh.
2. kita sebagai si 'pemukul' bisa berubah terus tensi-nya...hari ini
mukuldengan intensitas 'medium' mungkin besok karena kita lagi capek,
intensitass menjadi 'large' dan seterusnya...lama-lama bisa-bisa pake
golok...
3. anak, bisa-bisa memendam rasa 'dendam'. jadi ntar begitu dia udah
setinggi monas, dia bisa bales pukul bapak. wadow....by that time bapak
pasti udah ga' sekuat sekarang. percaya deh ama saya, makin gede anak,
kitanya makin keok.
Karena itu saya lebih mementingkan menegakkan "wibawa" dengan
menerapkan "I MEAN WHAT I SAY --- I SAY WHAT I MEAN" kepada anakku
semata wayang. Saya main 'ekspresi wajah', dan 'suara' (yang kata guru-guru mandiga, bisa bikin pabrik TOA bangkrut). Saya setuju bahwa 'konsekuensi' harus diberikan pada saat perilaku dilakukan anak, tapi orang akan lebih setuju bila kita mengekspresikan amarah melalui suara tegas, larangan, dan wajah merengut daripada kita memukul. Jadi selama ini sih...di tempat umum aku cukup berteriak "IKHSAN PRIATAMA" dan tidak terjadi apa-apa kecuali bahwa perilaku dia berhenti (paling resikonya, orang jadi tahu nama lengkap anak, 'kan?).
Masih berulah biarpun udah ditegur? Ya pulang. Susah amat.
Nah, di rumah, bebas aku memarahinya dan melarang segala bentuk kegembiraan.
Puas, deh.
Sekali lagi, itu berarti 'konsisten'. Jadi dia respek sekali kepadaku, sementara itu hubungan kedekatan emosional kami tidak perlu diragukan lagi. Jangan dikira masalah selesai. Oh tidak. Sekarang-sekarang ini lagi pusing-pusingnya soalnya anak 15 tahun kan emang nyebelin (ABG gitu lhooo).
But, love him forever lah.
1. ekspresi sayang bila dilakukan melalui pemukulan adalah hal yang
WAJAR, bisa-bisa tuanya dia mukulin bini dan anak-anaknya juga dengan
alasan untuk disiplin dsb... kena UU kekerasan dalam rumah tangga,
pak...penjara, euy. Dia, pak yang dipenjara. Kasihan atuh.
2. kita sebagai si 'pemukul' bisa berubah terus tensi-nya...hari ini
mukuldengan intensitas 'medium' mungkin besok karena kita lagi capek,
intensitass menjadi 'large' dan seterusnya...lama-lama bisa-bisa pake
golok...
3. anak, bisa-bisa memendam rasa 'dendam'. jadi ntar begitu dia udah
setinggi monas, dia bisa bales pukul bapak. wadow....by that time bapak
pasti udah ga' sekuat sekarang. percaya deh ama saya, makin gede anak,
kitanya makin keok.
Karena itu saya lebih mementingkan menegakkan "wibawa" dengan
menerapkan "I MEAN WHAT I SAY --- I SAY WHAT I MEAN" kepada anakku
semata wayang. Saya main 'ekspresi wajah', dan 'suara' (yang kata guru-guru mandiga, bisa bikin pabrik TOA bangkrut). Saya setuju bahwa 'konsekuensi' harus diberikan pada saat perilaku dilakukan anak, tapi orang akan lebih setuju bila kita mengekspresikan amarah melalui suara tegas, larangan, dan wajah merengut daripada kita memukul. Jadi selama ini sih...di tempat umum aku cukup berteriak "IKHSAN PRIATAMA" dan tidak terjadi apa-apa kecuali bahwa perilaku dia berhenti (paling resikonya, orang jadi tahu nama lengkap anak, 'kan?).
Masih berulah biarpun udah ditegur? Ya pulang. Susah amat.
Nah, di rumah, bebas aku memarahinya dan melarang segala bentuk kegembiraan.
Puas, deh.
Sekali lagi, itu berarti 'konsisten'. Jadi dia respek sekali kepadaku, sementara itu hubungan kedekatan emosional kami tidak perlu diragukan lagi. Jangan dikira masalah selesai. Oh tidak. Sekarang-sekarang ini lagi pusing-pusingnya soalnya anak 15 tahun kan emang nyebelin (ABG gitu lhooo).
But, love him forever lah.
CARA MENDIDIK ANAK
-Syeikh Muhammad Soleh Uthaimin
Apabila telah tampak tanda-tanda tamyiz pada seorang anak, maka selayaknya dia mendapatkan perhatian sesrius dan pengawasan yang cukup. Sesungguhnya hatinya bagaikan bening mutiara yang siap menerima segala sesuatu yang mewarnainya. Jika dibiasakan dengan hal- hal yang baik, maka ia akan berkembang dengan kebaikan, sehingga orang tua dan pendidiknya ikut serta memperoleh pahala. Sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan hal-hal buruk, maka ia akan tumbuh dengan keburukan itu. Maka orang tua dan pedidiknya juga ikut memikul dosa karenanya.
Oleh karena itu, tidak selayaknya orang tua dan pendidik melalaikan tanggung jawab yang besar ini dengan melalaikan pendidikan yang baik dan penanaman adab yang baik terhadapnya sebagai bagian dari haknya. Di antara adab-adab dan kiat dalam mendidik anak adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya anak dididik agar makan dengan tangan kanan, membaca basmalah, memulai dengan yang paling dekat dengannya dan tidak mendahului makan sebelum yang lainnya (yang lebih tua, red). Kemudian cegahlah ia dari memandangi makanan dan orang yang sedang makan.
2. Perintahkan ia agar tidak tergesa-gesa dalam makan. Hendaknya mengunyahnya dengan baik dan jangan memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum habis yang di mulut. Suruh ia agar berhati-hati dan jangan sampai mengotori pakaian.
3. Hendaknya dilatih untuk tidak bermewah-mewah dalam makan (harus pakai lauk ikan, daging dan lain-lain) supaya tidak menimbulkan kesan bahwa makan harus dengannya. Juga diajari agar tidak terlalu banyak makan dan memberi pujian kepada anak yang demikian. Hal ini untuk mencegah dari kebiasaan buruk, yaitu hanya memen-tingkan perut saja.
4. Ditanamkan kepadanya agar mendahulukan orang lain dalam hal makanan dan dilatih dengan makanan sederhana, sehingga tidak terlalu cinta dengan yang enak-enak yang pada akhirnya akan sulit bagi dia melepaskannya.
5. Sangat disukai jika ia memakai pakaian berwarna putih, bukan warna-warni dan bukan dari sutera. Dan ditegaskan bahwa sutera itu hanya untuk kaumwanita.
6. Jika ada anak laki-laki lain memakai sutera, maka hendaknya mengingkarinya. Demikian juga jika dia isbal (menjulurkan pakaiannya hingga melebihi mata kaki). Jangan sampai mereka terbiasa dengan hal- hal ini.
7. Selayaknya anak dijaga dari bergaul dengan anak-anak yang biasa bermegah-megahan dan bersikap angkuh. Jika hal ini dibiarkan maka bisa jadi ketika dewasa ia akan berakhlak demikian. Pergaulan yang jelek akan berpengaruh bagi anak. Bisa jadi setelah dewasa ia memiliki akhlak buruk, seperti: Suka berdusta, mengadu domba, keras kepala, merasa hebat dan lain-lain, sebagai akibat pergaulan yang salah di masa kecilnya. Yang demikian ini, dapat dicegah dengan memberikan pendidikan adab yang baik sedini mungkin kepada mereka.
8. Harus ditanamkan rasa cinta untuk membaca al Qur'an dan buku- buku, terutama di perpustakaan. Membaca al Qur'an dengan tafsirnya, hadits-hadits Nabi n dan juga pelajaran fikih dan lain-lain. Dia juga harus dibiasakan menghafal nasihat-nasihat yang baik, sejarah orang-orang shalih dan kaum zuhud, mengasah jiwanya agar senantiasa mencintai dan menela-dani mereka. Dia juga harus diberitahu tentang buku dan faham Asy'ariyah, Mu'tazilah, Rafidhah dan juga kelompok-kelompok bid'ah lainnya agar tidak terjerumus ke dalamnya. Demikian pula aliran-aliran sesat yang banyak ber-kembang di daerah sekitar, sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
9. Dia harus dijauhkan dari syair-syair cinta gombal dan hanya sekedar menuruti hawa nafsu, karena hal ini dapat merusak hati dan jiwa.
10. Biasakan ia untuk menulis indah (khath) dan mengahafal syair- syair tentang kezuhudan dan akhlak mulia. Itu semua menunjukkan kesempurnaan sifat dan merupakan hiasan yang indah.
11. Jika anak melakukan perbuatan terpuji dan akhlak mulia jangan segan-segan memujinya atau memberi penghargaan yang dapat membahagia- kannya. Jika suatu kali melakukan kesalahan, hendaknya jangan disebar-kan di hadapan orang lain sambil dinasihati bahwa apa yang dilakukannya tidak baik.
12. Jika ia mengulangi perbuatan buruk itu, maka hendaknya dimarahi di tempat yang terpisah dan tunjukkan tingkat kesalahannya. Katakan kepadanya jika terus melakukan itu, maka orang-orang akan membenci dan meremehkannya. Namun jangan terlalu sering atau mudah memarahi, sebab yang demikian akan menjadikannya kebal dan tidak terpengaruh lagi dengan kemarahan.
13. Seorang ayah hendaknya menjaga kewibawaan dalam ber-komunikasi dengan anak. Jangan menjelek-jelekkan atau bicara kasar, kecuali pada saat tertentu. Sedangkan seorang ibu hendaknya menciptakan perasaan hormat dan segan terhadap ayah dan memperingatkan anak-anak bahwa jika berbuat buruk maka akan mendapat ancaman dan kemarahan dari ayah.
14. Hendaknya dicegah dari tidur di siang hari karena menyebabkan rasa malas (kecuali benar-benar perlu). Sebaliknya, di malam hari jika sudah ingin tidur, maka biarkan ia tidur (jangan paksakan dengan aktivitas tertentu, red) sebab dapat menimbulkan kebosanan dan melemahnya kondisi badan.
15. Jangan sediakan untuknya tempat tidur yang mewah dan empuk karena mengakibatkan badan menjadi terlena dan hanyut dalam kenikmatan. Ini dapat mengakibatkan sendi-sendi menjadi kaku karena terlalu lama tidur dan kurang gerak.
16. Jangan dibiasakan melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, sebab ketika ia melakukannya, tidak lain karena adanya keyakinan bahwa itu tidak baik.
17. Biasakan agar anak melakukan olah raga atau gerak badan di waktu pagi agar tidak timbul rasa malas. Jika memiliki ketrampilan memanah (atau menembak, red), menunggang kuda, berenang, maka tidak mengapa menyi-bukkan diri dengan kegiatan itu.
18. Jangan biarkan anak terbiasa melotot, tergesa-gesa dan bertolak (berkacak) pinggang seperti perbuatan orang yang membangggakan diri.
19. Melarangnya dari membangga-kan apa yang dimiliki orang tuanya, pakaian atau makanannya di hadapan teman sepermainan. Biasakan ia ber-sikap tawadhu', lemah lembut dan menghormati temannya.
20. Tumbuhkan pada anak (terutama laki-laki) agar tidak terlalu mencintai emas dan perak serta tamak terhadap keduanya. Tanamkan rasa takut akan bahaya mencintai emas dan perak secara berlebihan, melebihi rasa takut terhadap ular atau kalajengking.
21. Cegahlah ia dari mengambil sesuatu milik temannya, baik dari keluarga terpandang (kaya), sebab itu merupakan cela, kehinaan dan menurunkan wibawa, maupun dari yang fakir, sebab itu adalah sikap tamak atau rakus. Sebaliknya, ajarkan ia untuk memberi karena itu adalah perbuatan mulia dan terhormat.
22. Jauhkan dia dari kebiasaan meludah di tengah majlis atau tempat umum, membuang ingus ketika ada orang lain, membelakangi sesama muslim dan banyak menguap.
23. Ajari ia duduk di lantai dengan bertekuk lutut atau dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan yang kiri atau duduk dengan memeluk kedua punggung kaki dengan posisi kedua lutut tegak. Demikian cara-cara duduk yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam.
24. Mencegahnya dari banyak berbicara, kecuali yang bermanfaat atau dzikir kepada Allah.
25. Cegahlah anak dari banyak bersumpah, baik sumpahnya benar atau dusta agar hal tersebut tidak menjadi kebiasaan.
26. Dia juga harus dicegah dari perkataan keji dan sia-sia seperti melaknat atau mencaci maki. Juga dicegah dari bergaul dengan orang- orang yang suka melakukan hal itu.
27. Anjurkanlah ia untuk memiliki jiwa pemberani dan sabar dalam kondisi sulit. Pujilah ia jika bersikap demikian, sebab pujian akan mendorongnya untuk membiasakan hal tersebut.
28. Sebaiknya anak diberi mainan atau hiburan yang positif untuk melepaskan kepenatan atau refreshing, setelah selesai belajar, membaca di perpustakaan atau melakukan kegiatan lain.
29. Jika anak telah mencapai usia tujuh tahun maka harus diperintahkan untuk shalat dan jangan sampai dibiarkan meninggalkan bersuci (wudhu) sebelumnya. Cegahlah ia dari berdusta dan berkhianat. Dan jika telah baligh, maka bebankan kepadanya perintah- perintah.
30. Biasakan anak-anak untuk bersikap taat kepada orang tua, guru, pengajar (ustadz) dan secara umum kepada yang usianya lebih tua. Ajarkan agar memandang mereka dengan penuh hormat. Dan sebisa mungkin dicegah dari bermain-main di sisi mereka (mengganggu mereka).
Demikian adab-adab yang berkaitan dengan pendidikan anak di masa tamyiz hingga masa-masa menjelang baligh. Uraian di atas adalah ditujukan bagi pendidikan anak laki-laki. Walau demikian, banyak di antara beberapa hal di atas, yang juga dapat diterapkan bagi pendidikan anak perempuan.
WaAllahu ta'ala a'lam.
Dari mathwiyat Darul Qasim "tsalasun wasilah li ta'dib al abna''" asy Syaikh Muhammad bin shalih al Utsaimin rahimahullah . Diterjemahkan oleh, Ubaidillah Masyhadi http://mifty- away.tripod. com/id44. html
Disadari atau tidak uang mempengaruhi seseorang dalam pengambilan keputusan. Pendidikan, motivasi dan dukungan terhadap anak untuk dapat menjadi penabung dan investor yang baik akan mempengaruhi untuk dapat menabung dan menghemat uang yang diterimanya. Kebiasaan ini akan mempengaruhi sikap anak di masa depannya. Dalam tulisannya di famili education Paul Richard menyebutkan setidaknya ada 15 cara yang bisa dipakai oleh orangtua dalam mengajarkan masalah finansial kepada anak. Namun disini sedikit banyak sudah saya modifikasi dengan pendapat saya sesuai dengan pengelolaan keuangan secara Islami yang tidak mengenal riba.- Kenalkan anak terhadap uang sejak dini, misalnya mulai usia 3 atau 4 tahun.Jelaskan dengan informasi yang dapat diterima dan sesuai logika anak, paling tidak mengajarkan anak mengetahui nilai uang di usia ini.
- Observasi dan pengulangan adalah hal yang baik bagi anak untuk belajar. Komunikasikan kepada anak, sesuai usia pertumbuhannya tentang nilai uang, bagaimana menyimpannya, bagaimana membelanjakan dan bagaimana uang bisa bertumbuh.
- Bantu anak belajar perbedaan antara kebutuhan dan keingingan. Pelajaran ini akan mendidik anak menjadi seorang yang pandai mengatur pengeluaran di masa mendatang. Ini bisa diajarkan pada anak yang telah mengerti keuangan. Misalnya mulai usia kelas 4 atau 5 SD.
- Menentukan tujuan merupakan fundamental untuk mempelajari keuangan.
Jarang seseorang yang menentukan menetapkan dan menulis tujuan. Nggak perlu jauh-jauh, saat membelikan mainan buat anak, pasti jarang orang tua yang membuat tujuan pembelian mainan tersebut. Penentuan tujuan ini sebenarnya akan mendidik anak bertanggung jawab. - Kenalkan anak nilai pengeluaran uang dan menabung.Jelaskan kepada anak bagaimana konsep menabung dan keuntungannya. Misalnya menabung dapat memenuhi keinginan anak dengan uang sendiri tanpa harus meminta kepada orang tua. Pengenalan ini tentunya menggunakan bahasa anak-anak yang mudah dimengerti sesuai usia mereka.
- Saat memberikan anak uang, ajarkan mereka untuk menabung sebagian. Misalnya saat kita memberi 10.000 ajarkan anak menabung terlebih dahulu sebanyak rp. 2000 sebelum anak membelanjakan uang tersebut. Kegiatan ini akan menjadi kebiasaan positif yang bisa dilakukan anak hingga dewasa kelak.
- Perkenalkan anak dengan bank Syariah dan ajak untuk membuka rekening. Berikan pengertian kepada anak bahwa menabung secara teratur akan menjadi kebiasaan yang baik, yang mengantarkan kepada kesuksesan di masa depan
- Ajarkan anak membuat catatan keuangan, berapa yang dibelanjakan, di tabung dan bahkan diinvestasikan jika anak sudah mengenal investasi. Usia SMA anak bisa mulai diajarkan tentang investasi supaya bisa jadi lahan untuk belajar sejak dini.
- Gunakan acara berbelanja bersama anak sebagai ajang bagi anak untuk belajar mengerti dan memahami nilai uang. Jangan ragu mendidik anak Anda dengan cara mengajaknya saat Anda pergi berbelanja ke toko grosir atau pusat perbelanjaan. Dengan membandingkan beberapa harga di toko grosir dan tempat perbelanjaan biasa Anda bisa mengajarkan kepada anak bahwa belanja di toko grosir dapat sedikit lebih berhemat dibanding toko biasa.
- Ajak anak untuk cermat dalam mengeluarkan uang. Kaya atau miskin mereka pasti akan mengeluarkan uang dalam kehidupan sehari hari. Ajarkan anak mengetahui mana yang seharusnya dipilih untuk dibeli dan mana yang tidak. Atur berdasarkan secara skala prioritas. Mungkin anak-anak belum mengerti skala prioritas tapi Anda harus mengajarkan sesuai dengan usia anak. Misalnya membeli buku bacaan dengan tabungan lebih baik dibanding membeli mainan yang sudah dimilikinya.
- Tunjukkan anak bagaimana menilai iklan produk yang ada di radio, tv atau media lainnya. Ajarkan bahwa ngga semua produk yang masuk iklan itu semuanya bagus, sehingga anak-anak belajar memilih, tidak sekedar membelanjakan uangnya mengikuti iklan tv atau radio
- Ingatkan putra putri kita jika mereka mulai punya kebiasaan kurang baik, seperti meminjam uang kepada temannya.
Anak-anak SMP dan SMA bisa jadi punya kebiasaan yang kurang baik..yaitu meminjam uang teman untuk membeli sesuatu yang sebenarnya kurang penting karena uang pribadi anak kurang cukup. Jika hal ini terjadi orangtua perlu extra mengawasi dan mengingatkan, karena jika berlanjut bisa menjadi kebiasaan buruk bagi anak hingga dewasa. - Beri penjelasan saat mengajak anak ke ATM atau berbelanja dengan kartu kredit atau kartu debet. ATM bisa jadi menjadi mesin uang bagi imajinasi anak-anak usia masih kecil, misalnya TK atau SD. Mereka bisa saja berasumsi bahwa jika uang habis bisa aja langsung ngambil di mesin uang. Anak-anak tidak akan pernah tahu kalau harus menabung dulu atau account harus ada uangnya jika kita mau ambil dari ATM atau Debet langsung. Oleh karena itu orang tua sebaiknya menjelaskan kepada anak bagaimana mesin ATM bekerja.
- Hati-hati memberikan kartu kredit pada anak. Trend akhir-akhir ini adalah banyak orang tua memberikan account kartu kredit tambahan buat anak. Agar anak lebih gampang saat membeli sesuatu. Nah…ini perlu dicermati juga…barangkali tujuannya baik, namun tanpa bekal pendidikan keuangan yang baik bisa saja kartu kredit ini akan menjadi masalah. Misalnya anak akan menggunakannya untuk berbelanja semaunya bukan untuk hal yang penting, akibatnya bisa jadi di awal bulan tagihan membengkak dan menjadi masalah bagi orang tua.
- Luangkan waktu untuk berdiskusi dengan anak. Sebagai orangtua Bunda harus punya waktu buat anak sesibuk apapun kegiatan Bunda, karena anak butuh kedekatan dengan Bunda, ajaklah anak berdiskusi berbagai masalah termasuk tentang permasalahan keuangan sehingga ada kedekatan antara anak dan Bunda. Semua informasi tentang anak sangat penting bagi Bunda untuk dapat menjalin kebersamaan mengarungi hari-hari. Dan yang penting dalam masalah keuangan, anak akan tumbuh rasa tanggung jawab dan percaya diri atas dukungan dan motivasi dari Bunda.
Atau bahkan sering mengucapkan saat anak sedang berbuat kurang baik?
Mungkin ngga hanya saya yang sering mendengar ini….memaklumi anak saat anak berbuat salah.. Misalnya saat kakak dan adik berantem…kita memakluminya…dengan alasan masih anak-anak…atau bahkan saat anak kita kurang sopan ke tetangga atau teman kita…kita pun memakluminya.
Benarkah tindakan kita? Bagi sebagian orang akan membenarkan tindakan tersebut…namun sebenarnya kita telah mendidik anak kita untuk berbuat nggak baik…dengan membiarkan perbuatan tidak baik itu diulang-ulang oleh anak kita dan menjadi kebiasaan dan bahkan karakter anak kita…
Justru pendidikan karakter harus ditanamkan sejak usia dini…sampai anak berusia SD…sehingga saat anak menginjak dewasa sudah memiliki pondasi yang kokoh tentang perbuatan baik dan tidak baik…sehingga anak bisa memilih.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan? Jika anak berbuat salah..berhentilah memaklumi…tunjukkan dan jelaskan perbuatannya salah supaya tidak diulangi lagi…dengan demikian kita telah mendidik anak kita berbuat baik dan menanamkan karakter baik sejak dini…
Mengajarkan keuangan untuk anak jelas nggak mudah.
Pertama, banyak dari kita sebagai orang tua yang tidak punya pengalaman ‘diajari’ oleh orang tua kita dulu. Ya maklum sajalah, dulu kan topik tentang uang seringkali dianggap masih tabu untuk dibicarakan, apalagi dengan anak.Kedua, yang namanya anak-anak jelas beda dengan orang dewasa dalam memahami sesuatu. Nggak seperti orang dewasa yang bisa diajarkan hanya dengan sebuah penjelasan, kalau dengan anak-anak, jelas perlu trik khusus untuk mengajarkan sesuatu pada mereka.Buku ini - dengan bahasa yang lugas dan sederhana - bisa memberikan banyak trik, contoh kasus, dan pengalaman nyata tentang bagaimana mengajarkan keuangan untuk anak-anak. Apalagi buku ini ditulis oleh dua orang pakar di bidangnya masing-masing.Ahmad Gozali misalnya, adalah seorang perencana keuangan yang tidak perlu ditanya lagi
kemampuannya dalam memberikan teori dan kiat dalam mengelola uang. Kemudian Irawati Istadi, adalah seorang pakar pendidikan anak yang sudah banyak menulis buku laris tentang pendidikan anak, sehingga nggak sulit buat beliau untuk membagi trik tentang bagaimana mendidik anak dengan baik.
Kolaborasi keduanya sudah tidak perlu diragukan lagi: pastilah menghasilkan sebuah buku dengan sudut pandang yang lengkap: keuangan dan anak. Jadi jelas, buku ini layak untuk Anda baca, dan mudah untuk Anda terapkan.
nak Hiperaktif
Ada dua ketakutan kaum ibu menyangkut anaknya, autis dan hiperaktif. Jika anaknya terkena autis, ibu akan sangat gugup karena anaknya tak fokus, cenderung pendiam dan sulit beradaptasi. Jika hiperaktif malahgelisah karena anaknya susah dikendalikan. Padahal, rata-rata anak autis dan hiperaktif punya KECERDASAN yang LUAR BIASA.
Mengelola anak hiperaktif memang butuh kesabaran yang luar biasa, juga kesadaran untuk senantiasa tak merasa lelah, demi kebaikan si anak. Anak hiperaktif memang selalu bergerak, nakal, tak bisa berkosentrasi.
Keinginannya harus segera dipenuhi. Mereka juga kadang impulsif atau melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikir lebih dahulu. Gangguan perilaku ini biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dasar, atau sebelum mereka berusia 7 tahun.
Anda cemas dan gugup? Tentu, tapi jangan takut. Kami punya resepnya.
Pertama, PERIKSALAH.
Tak semua tingkah laku yang kelewatan dapat digolongkan sebagai hiperaktif. Karena itu, Anda perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktif. Yang harus Anda lakukan adalah mengonsultasikan persoalan yang diderita anaknya kepada ahli terapi psikologi anak. Ini penting karena gangguan hiperaktivitas bisa berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik anak, serta kemampuannya dalam menyerap pelajaran dan bersosialisasi. Tujuannya untuk mendapatkan petunjuk dari orang yang tepat tentang apa saja yang bisa Anda lakukan di rumah. Selain itu juga berguna untuk menghapus rasa bersalah dan memperbaiki sikap Anda. agar tak terlalu menuntut anak secara berlebihan. Di sini biasanya para ahli akan memberikan obat yang sesuai atau sebuah terapi.
Kedua, PAHAMILAH.
Untuk bisa menangani anak hiperatif, ada baiknya pula jika Anda dan anggota keluarga mengikuti support group dan parenting skill-training. Tujuannya agar bisa lebih memahami sikap dan perilaku anak, serta apa yang dibutuhkan anak, baik secara psikologis, kognitif (intelektual) maupun fisiologis. Jika si anak merasa bahwa orang tua dan anggota keluarga lain bisa mengerti keinginannya, perasaannya, frustasinya, maka kondisi ini akan meningkatkan kemungkinan anak bisa tumbuh seperti layaknya orang-orang normal lainnya.
Ketiga, LATIH kefokusannya.
Jangan tekan dia, terima kaeadaan itu. Perlakukan anak dengan hangat dan sabar, tapi konsisten dan tegas dalam menerapkan norma dan tugas. Kalau anak tidak bisa diam di satu tempat, coba pegang kedua tangannya dengan lembut, kemudian ajaklah untuk duduk diam. Mintalah agar anak menatap mata Anda ketika berbicara atau diajak berbicara. Berilah arahan dengan nada yang lembuat, tanpa harus membenatk. Arahan ini penting sekali untuk melatih anak disiplin dan berkonsentrasi pada satu pekerjaan. Anda harus konsisten. Jika meminta dia melakukan sesuatu, jangan berikandia ancaman tapi pengertian, yang membuatnya tahu kenapa Anda berharap dia melakukan itu.
Keempat, TELATENLAH.
Jika dia telah betah untuk duduk lebih lama, bimbinglah anak untuk melatih koordinasi mata dan tangan dengan cara menghubungkan titik-titik yang membentuk angka atau huruf. Latihan ini juga bertujuan untuk memperbaiki cara menulis angka yang tidak baik dan salah. Selanjutnya anak bisa diberi latihan menggambar bentuk sederhana dan mewarnai. Latihan ini sangat berguna untuk melatih motorik halusnya.
Bisa pula mulai diberikan latihan berhitung dengan berbagai variasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Mulailah dengan penjumlahan atau pengurangan dengan angka-angka dibawah 10. Setelah itu baru diperkenalkan konsep angka 0 dengan benar.
Jika empat fase di atas telah dapat Anda lewati, bersyukurlah, pasti keaktifan anak Anda sudah dapat difokuskan untuk perkembangan jiwanya. Ini juga akan sangat membantu Anda dalam menjaganya. Dan kini, masukilah tahap berikutnya, bagaimana Anda harus bekerjasama dengan dia.
Kelima, BANGKITKAN kepercayaan dirinya.
Jika mampu, ini juga bisa dipelajari, gunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif. Misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib atau berhasil melakukan sesuatu dengan benar, memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak. Tujuannya untuk meningkatkan rasa percaya diri anak.
Di samping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Misalnya, dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orangtua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Dalam tahap ini, usahakan emosi Anda berada di titik stabil, sehingga dia tahu, penguat positif itu tidak datang atas kendali amarah. Ingat, anak hiperaktif rata-rata juga sangat sensitif.
Keenam, KENALI arah minatnya.
Jika dia bergerak terus, jangan panik, ikutkan saja, dan catat baik-baik, kemana sebenarnya tujuan dari keaktifan dia. Jangan dilarang semuanya, nanti dia prustasi. Yang paling penting adalah mengenali bakat atau kecenderungan perhatiannya secara dini. Dengan begitu, Anda bisa memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya. Misalnya, mengikutkan anak pada klub sepakbola di bawah umur atau berenang, agar anak belajar bergaul dan disiplin. Anak juga belajar bersosial karena ia harus mengikuti tatacara kelompoknya.
Ketujuh, MINTA dia bicara. Ini sangat penting Anda terapkan. Ingat, anak hiperaktif cenderung susah berkomunikasi dan bersosialisai, sibuk dengan dirinya sendiri. Karena itu, bantulah anak dalam bersosialisasi agar ia mempelajari nilai-nilai apa saja yang dapat diterima kelompoknya. Misalnya melakukan aktivitas bersama, sehingga Anda bisa mengajarkan anak bagaimana bersosialisasi dengan teman dan lingkungan. Ini memang butuh kesabaran dan kelembutan.
Mengembangkan ketrampilan berkomunikasi si kecil memang butuh waktu. Terlebih dulu ia harus dilengkapi dengan sikap menghargai, tenggang rasa, saling memahami, dan berempati, ujar Susan Barron, Ph.D, Direktur Pusat Perkembangan dan Pembelajaran Mount Sinai Medical Center di New York dalam salah satu artikelnya di majalah Child.
Terakhir, SIAP bahu-membahu. Jika dia telah mampu mengungkapkan pikirannya, Anda dapat segera membantunya mewujudkan apa yang dia inginkan. Jangan ragu. Bila perlu, bekerja samalah dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya. Mintalah guru tak perlu membentak, menganggap anak nakal, atau mengucilkan, karena akan berdampak lebih buruk bagi kesehatan mentalnya. Kerjasama ini juga penting karena anak sulit berkosentrasi dan menyerap pelajaran dengan baik. Dibutuhkan kesabaran dan bimbingan dari guru bagi anak hiperaktif.
Nah, itulah dasar-dasar pengelolaan jika anak Anda mengidap hiperaktif. Dia tak berbahaya, hanya butuh SENTUHAN dan PERHATIAN LEBIH. Jika itu dia dapatkan, anak Anda akan berubah jadi JENIUS yang bukan tak mungkin, akan mengubah dunia. (CN02
Gagap Pada Anak, Tips Untuk Orangtua.
Apakah gagap itu? Gagap adalah suatu gangguan kelancaran berbicara. Anak usia 2 sampai 5 tahun sering mengulang-ulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat yang diucapkan kepadanya. Ia kadang-kadang juga mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti “eee” atau “mmm” saat ia berbicara. Hal ini dianggap normal bila terjadi pada anak yang masih belajar berbicara.Anak pada golongan usia tersebut masih mempelajari cara berbicara, mengembangkan kendali terhadap otot-otot berbicaranya, mempelajari kata-kata baru, menyusun kata-kata dalam suatu kalimat, dan mempelajari bagaimana cara bertanya serta mempelajari akibat dari kata-kata yang mereka ucapkan. Oleh karena itu, anak pada golongan usia tersebut umumnya masih mengalami gangguan kelancaran berbicara.
Apakah Penyebab Gagap?
Banyak orang tua yang merasa bahwa gagap disebabkan oleh cara mendidik anak atau pola pengasuhan orang tua yang salah. Tetapi menurut para ahli, gagap tidak disebabkan oleh perilaku orang tua. Kenyataannya, penyebab gagap sampai saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti. Gagap merupakan suatu keadaan yang sangat rumit dan banyak berkaitan dengan hal-hal lain.
Anak laki-laki lebih banyak mengalami gagap dari pada anak perempuan dengan perbandingan tiga banding satu. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan, seperti stres.
Tanda-Tanda Awal
Umumnya tanda-tanda awal kegagapan terlihat pada usia dua tahun atau pada saat anak mulai belajar merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat. Sering kali orang tua merasa jengkel dengan kegagapan anak, tetapi hal ini merupakan hal yang umum ditemui saat anak masih dalam tahap perkembangan berbicara. Kesabaran merupakan sikap terpenting yang harus dimiliki oleh orang tua selama anak berada dalam tahap ini. Seorang anak mungkin mengalami gangguan kelancaran berbicara selama beberapa minggu atau bulan dengan gejala yang hilang timbul. Sebagian besar anak akan lancar berbicara dan tidak akan gagap lagi bila kegagapannya itu dimulai pada usia kurang dari 5 tahun.
Anak Usia Sekolah
Saat anak mulai memasuki usia sekolah, kemampuan dan keterampilan berbicaranya akan semakin terasah. Umumnya anak akan semakin lanca berbicara dan ia sudah tidak gagap lagi. Jika ia masih gagap, umumnya pada usia tersebut ia sudah mulai merasa malu akan hal tersebut. Anak seperti ini membutuhkan latihan khusus untuk membantunya dalam berkomunikasi.
Bantuan Yang Diperlukan
Seorang anak sebaiknya mulai mendapat bantuan khusus bila:
- orang tua mulai merasa khawatir akan kelancaran berbicara anaknya
- anak terlalu sering mengulang kata-kata atau bahkan seluruh kalimat
- pengulangan suara-suara seperti “aaa” semakin sering diucapkannya
- anak tampak kesulitan saat akan berbicara
- gangguan kelancaran berbicaranya semakin berat
- mimik muka anak tampak tegang saat berbicara
- suara anak terdengar tegang saat mengucapkan kata-kata bernada tinggi
- anak sering menghindari keadaan dimana ia harus berbicara
Jika ada tanda-tanda diatas yang tampak saat anak berbicara maka sebaiknya orang tua mulai menghubungi dokter atau ahli terapi bicara. Semakin dini bantuan yang diberikan kepada seorang anak maka semakin baik pula hasil yang akan diperoleh.
Apa Yang Dapat Dilakukan Oleh Orang Tua?
Berikut ini adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menciptakan suatu suasana yang membantu bagi seorang anak:
- Jangan menyuruh anak untuk selalu berbicara dengan tata bahasa yang benar. Biarkan anak untuk berbicara dengan nyaman dan menyenangkan.
- Manfaatkan waktu makan bersama untuk melatih kelancaran berbicara anak. Hindari hal-hal lain yang mungkin mengganggu seperti televisi atau radio.
- Jangan selalu mengkritik anak dengan ucapan seperti “pelan-pelan saja” atau semacamnya. Komentar semacam ini, walaupun diucapkan dengan niat baik, hanya akan membuat anak merasa semakin tertekan.
- Ijinkan anak untuk berhenti berbicara jika ia merasa tidak nyaman.
- Jangan menyuruh anak untuk mengulangi kata-katanya.
- Jangan selalu menyuruh anak untuk berhati-hati dalam berbicara.
- Ciptakan suasana yang tenang di rumah.
- Berbicaralah dengan pelan dan jelas kepada anak.
- Tataplah mata anak bila berbicara dengannya. Jangan melihat kearah lain dan jangan pula menunjukkan kekecewaan anda didepan anak.
- Biarkan anak berbicara dan mengucapkan kalimatnya sampai selesai.
- Yang paling penting adalah: seringlah berlatih! Jadilah contoh yang baik bagi anak dengan selalu berbicara dengan jelas.
MENDIDIK ANAK TAAT SYARIAH
Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada Februari 4, 2007
Oleh: Ummu AzkiyaMenjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ’sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah. []
BOX:
Sembilan Tips Mendidik Anak Taat Syariah
Tumbuhkan kecintaan pertama dan utama kepada Allah.
Ajak anak Anda mengidolakan pribadi Rasulullah.
Ajak anak Anda terbiasa menghapal, membaca, dan memahami al-Quran.
Tanamkan kebiasaan beramal untuk meraih surga dan kasih sayang Allah.
Siapkan reward (penghargaan) dan sakgsi yang mendidik untuk amal baik dan amal buruknya.
Yang terpenting, Anda menjadi teladan dalam beribadah dan beramal salih.
Ajarkan secara bertahap hukum-hukum syariah sebelum usia balig.
Ramaikan rumah, mushola, dan masjid di lingkungan Anda dengan kajian Islam, dimana Anda dan anak Anda berperan aktif.
Ajarkan anak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya, dan dakwah Islam. []
wah nasi kuningnya sama ya?
mudah2n kalo tasyakuran lagi,
udo bisa mengikuti jejak Mas Gangga
iya, memberikan contoh dan mendidik dgn perbuatan
jauh lebih meresap di hati, dibandingkan sekedar kata-kata
- Saya mendengar, maka saya cepat lupa
- Saya melihat, maka hanya sekedar tahu
- Saya melakukan, maka saya lebih mudah memahaminya
itulah pelajaran yang udo peroleh
dari cara ortu udo mendidik udo waktu kecil
setiap mau pergi sholat jum'at, apalagi idul fitri & idul adha
ibu udo menitipkan uang untuk dimasukan dalam kotak shadaqah
waktu udo tidak tahu maknanya, hanya menjalani saja
namun kita udo baru faham, bahwa itu dilakukan oleh ibu udo
untuk mendidik kejujuran, amanah, dan gemar bershadaqah
ya, ibu udo tidak berkata, "Nak, harus jujur!", tapi dengan bertanya,
"Nak, tadi uang dimasukan dalam kotak shodaqoh ya?
ya, ibu udo tidak berkata, "Nak, harus amanah!, tapi dengan bertanya,
"Nak, makasih ya, udah bantu ibu memasukan uang dalam kotak shodaqoh!"
ya, ibu udo tidak berkata, "Nah, harus dermawan!" tapi cukup dengan
kata, "Nak, ini uang untuk shodaqah"
--- In sekolah-kehidu...@yahoogroups.com, Siwi LH <siuhik@...> wrote:
> Cerita tentang anak-anak memang tak akan pernah habis untuk digali....
> saya jadi inget hari Sabtu kemaren juga Ultahnya adek Gautama, saya
> saya jadi inget hari Sabtu kemaren juga Ultahnya adek Gautama, saya
juga bikin nasi kuning, didoain kami sekeluarga, dan nasinya
dibagi-bagi sama Pak Becak di sekitar rumah,
dibagi-bagi sama Pak Becak di sekitar rumah,
> tentang milad memang kami usahakan tak harus bikin pesta, tak harus
tiup lilin, do'a mohon keberkahan bagi hidup mereka akan lebih berasa
ya Udo, mendo'akan dengan selaksa cinta kita akan lebih terhayati
maknanya...
ya Udo, mendo'akan dengan selaksa cinta kita akan lebih terhayati
maknanya...
> Mas Gangga yang tahun kemaren ngundang temen2 ngajinya, tahun ini
juga minta dibikinkan nasi kuning buat anak yatim aja katanya....
> Sesungguhnya anak-anak memang lebih mudah untuk dib
SEPULUH KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK Oleh
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2069&bagian=0
Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua
bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian
dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan
malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah.
Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah
itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum
mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan
pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang
tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan
tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik
anak-anak.
BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK
Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian
pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya.
Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak
serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian
dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk
perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar'i yang
mengisyaratkannya. Allah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya" [An-Nisa : 58]
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" [Al-Anfal : 27]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan
bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin
bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya" [Hadits
Riwayat Al-Bukhari]
"Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati
(sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu,
niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK
Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan
tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan
menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak
ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.
Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau
menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai
kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang
tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama
munculnya sikap durhaka itu.
Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang
tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua,
maupun kenakalan remaja.
Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua
dalam mendidik anak-anaknya.
[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti
menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan
lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada
bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu
ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena
seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.
Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut
kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan
ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita
bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut.
Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta
membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan
akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.
[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang
Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap
tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak
harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap
berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu
harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak
suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas
yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam
mengamalkan kebenaran.
[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka
kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak
peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak
fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah
muru'ah (harga diri) dan kebenaran.
[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya,
tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang
diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang
lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan
menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala
permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada
nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang
tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.
[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang
Masih Kecil.
Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita
menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan
senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi
permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal
ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati
diri.
[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas
Kewajaran.
Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan
cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika
sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali
melakukannya.
[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran
Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga
anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong
anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya :
dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang
lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan
untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya,
karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa'udzubillah mindzalik
[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari
Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.
Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus
ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya,
karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari
laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan
perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan
sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.
[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik
untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang
baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang
berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar
beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak
tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian
dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia
akan mencarinya dari orang lain.
[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya
Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya.
Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang
dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal
teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada
anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau
gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak
kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang
tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.
Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin
kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah
berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan
pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik
anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu
berdo'a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah
serta berakhlak mulia. Wallahu a'lam bishshawab.
[Disadur oleh Ummu Shofia dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad,
Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/20004M, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Jl Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton,
Gondangrejo – Solo]
Cara mendidik anak ala nabi ibrahim
Kawinilah wanita yang kamu cintai lagi subur (banyak melahirkan) karena aku akan bangga dengan banyaknya kamu terhadap umat lainnya. [HR. Al-Hakim]
Begitulah anjuran Rasulullah saw kepada umatnya untuk memiliki anak keturunan.
Sehingga lahirnya anak bukan saja penantian kedua orang tuanya, tetapi suatu hal yang dinanti oleh Rasulullah saw. Dan tentu saja anak yang dinanti adalah anak yang akan menjadi umatnya Muhammad saw. Berarti, ada satu amanah yang dipikul oleh kedua orang tua, yaitu bagaimana menjadikan atau mentarbiyah anak—yang titipan Allah itu—menjadi bagian dari umat Muhammad saw.
Untuk menjadi bagian dari umat Muhammad saw. harus memiliki karakteristik yang disebutkan oleh Allah swt.:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [QS. Al-Fath, 48: 29]
Jadi karakteristik umat Muhammad saw adalah: [1] keras terhadap orang Kafir, keras dalam prinsip, [2] berkasih sayang terhadap sesama umat Muhammad, [3] mendirikan shalat, [4] terdapat dampak positif dari aktivitas shalatnya, sehingga orang-orang yang lurus, yang hanif menyukainya dan tentu saja orang-orang yang turut serta mentarbiyahnya.
Untuk mentarbiyah anak yang akan menjadi bagian dari Umat Muhammad saw. bisa kita mengambil dari caranya Nabi Ibrahim, yang Allah ceritakan dari isi doanya Nabi Ibrahim dalam surat Ibrahim berikut ini:
Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.
Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.
Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.
Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. [Ibrahim: 37-41]
Dari doanya itu kita bisa melihat bagaimana cara Nabi Ibrahim mendidik anak, keluarga dan keturunannya yang hasilnya sudah bisa kita ketahui, kedua anaknya—Ismail dan Ishaq—menjadi manusia pilihan Allah:
Cara pertama mentarbiyah anak adalah mencari, membentuk biah yang shalihah. Representasi biah, lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah]. Maka, kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, mereka mencintai masjid. Bukankah salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di saat tidak ada lagi naungan adalah pemuda yang hatinya cenderung kepada masjid.
Kendala yang mungkin kita akan temukan adalah teladan—padahal belajar yang paling mudah itu adalah meniru—dari ayah yang berangkat kerjanya ba’da subuh yang mungkin tidak sempat ke masjid dan pulangnya sampai rumah ba’da Isya, praktis anak tidak melihat contoh shalat di masjid dari orang tuanya. Selain itu, kendala yang sering kita hadapi adalah mencari masjid yang ramah anak, para pengurus masjid dan jamaahnya terlihat kurang suka melihat anak dan khawatir terganggu kekhusu’annya, dan ini dipengaruhi oleh pengalamannya selama ini bahwa anak-anak sulit untuk tertib di masjid.
Cara kedua adalah mentarbiyah anak agar mendirikan shalat. Mendirikan shalat ini merupakan karakter umat Muhammad saw sebagaimana yang uraian di atas. Nabi Ibrahim bahkan lebih khusus di ayat yang ke-40 dari surat Ibrahim berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat. Shalat merupakan salah satu pembeda antara umat Muhammad saw dengan selainnya. Shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak: suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.
Proses tarbiyah anak dalam melakukan shalat, sering mengalami gangguan dari berbagai kalangan dan lingkungan. Dari pendisiplinan formal di sekolah dan di rumah, kadang membuat kegiatan [baca: pendidikan] shalat menjadi kurang mulus dan bahkan fatal, terutama cara membangun citra shalat dalam pandangan anak. Baru-baru ini, ada seorang suami yang diadukan oleh istrinya tidak pernah shalat kepada ustadzahnya, ketika ditanya penyebabnya, ternyata dia trauma dengan perintah shalat. Setiap mendengar perintah shalat maka terbayang mesti tidur di luar rumah, karena ketika kecil bila tidak shalat harus keluar rumah. Sehingga kesan yang terbentuk di kepala anak kegiatan shalat itu tidak enak, tidak menyenangkan, dan bahkan menyebalkan. Kalau hal ini terbentuk bertahun-tahun tanpa ada koreksi, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, terbentuknya seorang anak [muslim] yang tidak shalat.
Cara keempat adalah mentarbiyah anak agar disenangi banyak orang. Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari]. Anak kita diberikan cerita tentang Rasulullah saw, supaya muncul kebanggaan dan kekaguman kepada nabinya, yang pada gilirannya menjadi Rasulullah menjadi teladannya. Kalau anak kita dapat meneladani Rasulullah saw berarti mereka sudah memiliki akhlaq yang baik karena—sebagaimana kita ketahui—Rasulullah memiliki akhlaq yang baik seperti pujian Allah di dalam al-Quran: “Sesungguhnya engkau [Muhammad] berakhlaq yang agung.” [Al-Qalam, 68: 4]
Cara ketiga adalah mentarbiyah anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang. Anak ditarbiyah untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]. Rezki yang telah Allah siapkan Setelah itu anak diajarkan untuk bersyukur.
Cara keempat adalah mentarbiyah anak dengan mempertebal terus keimanan, sampai harus merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.
Cara kelima adalah mentarbiyah anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.
Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak
Oleh: Mochamad Bugi
Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).
Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).
Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.
Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.
Anak-Anak Muslim Yang Cerdas
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
Perhatikan di malam itu, ternyata aku menyaksikan kenyataan yang sangat luar biasa. Di sebuah rumah tempat aku bersinggah, aku mendengar suara seorang ibu sedang mengajarakan anaknya membaca Al Qur’an. Padahal ibu itu baru saja kembali dari tempat kerja. Dari wajahnya nampak rasa lelah yang masih belum hilang. Ibu itu telah mensyukuri keindahan kota dengan cara seperti yang Allah ajarkan. Ibu itu tidak suka kalau anaknya nanti tidak tahu tuntunan Allah. Dalam sebuah obrolan ibu itu berkata: “Aku tidak mau anakku seperti mereka yang bodoh itu. Aku takut kalau anakku nanti tersesat jalan. Karenanya akau harus bersungguh-sungguh mengejarkan anakku Al Qur’an”.
Memang kekhwatiran akan masa depan anak dari segi moral dan agama sering kali aku dengar dari beberapa keluarga muslim Indonesia di Amerika. Benar, secara pendidikan umum anak-anak mereka tidak akan kehilangan masa depan. Tetapi dari sisi moral dan agama mereka sangat khawatir. Karena itu mereka selalu berusaha untuk mengikutkan anak-anak mereka dalam program sekolah agama setiap hari Ahad “ Sunday School”. Kegiatan ini hampir merata. Tidak saja di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi juga di kalangan umat Islam Amerika secara umum. Di beberapa kota yang sempat aku kunjungi seperti Houston, Denver, Los Angles, Washington, New York, Chicago dan Sanfrancisco, selalu aku temui penampilan anak-anak kecil membaca Al Qur’an. Mereka ternyata bisa tampil dengan sangat mengagumkan. Bahkan di sebagian kota seperti Denver ada anak-anak yang menampilkan lagu nasyid. Penampilan itu menambah cerah suasana malam Ramadhan. Di Houston ada perlombaan menulis artikel Islam tentang Ramadhan. Hasilnya memuaskan. Di Washinton anak-anak mereka sangat kritis. Ketika dibuka pertanyaan, ada yang bertanya: “Mengapa Allah mengutus nabi dari laki-laki saja kok tidak perempuan?”
Anak-anak kecil di Amerika memang dididik kritis dan berani. Karena itu, setiap mereka ditegur selalu bertanya: why? Karenanya orang tua mereka harus pandai memberikan alasan. Jika tidak, mereka tidak mau menerima teguran begitu saja. Memang banyak pengakuan dari orang tua: bahwa mereka seringkali sangat kerepotan untuk menjawab. Terutama jika masalahnya berkenaan dengan agama. Karena itu para orang tua di Amerika banyak yang semangat belajar ilmu agama. Mereka terdorong bukan saja karena harus menjawab pertanyaan sang anak yang sangat kritis, tetapi juga mereka harus memberikan contoh yang baik sesuai dengan tuntunan Islam. Contoh dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Bagi para orang tua, Islam memang harus dipelajari. Tidak sedikit dari mereka yang menyesal mengapa dulu ketika masih muda tidak belajar Islam dengan sungguh-sungguh.
Memang semasa di Indonesia tantangan untuk belajar Islam tidak sedahsyat di Amerika. Di Indonesia mereka masih mendengar adzan, masih banyak orang berjilbab, masih banyak orang Islam, masih banyak pesantren dan sekolah Islam. Tetapi setelah mereka di Amerika, tidak bisa tidak mereka harus belajar Islam, tidak saja untuk diri mereka tetapi lebih dari itu untuk anak-anak mereka. Inilah gambaran bahwa Islam tidak boleh disepelekan. Bagaimana pun Islam tetap agama fitrah. Islam kebutuhan fitrah manusia. Manusia sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menghindar dari Islam. Sungguh akau katakan: “Kebutuhan manusia terhadap Islam sebenarnya seperti kebutuhan ikan terhadap air. Bila manusia tanpa Islam ia pasti mati jiwanya. Ia berjalan tanpa ruh. Tidak punya arah. Tidak tahu mau kemana harus melangkah”. Allahu a’lam bish shawab.
Durhaka Kepada Orang Tua
Oleh: Mochamad Bugi
‘Uquuqul walidain (durhaka kepada orang tua) adalah dosa besar. Karena itu, Rasulullah saw. –seperti yang dikutip oleh Ibnu Al-Atsir dalam kitabnya An-Nihaayah—melarang perbuatan durhaka kepada kedua orang tua.
Seseorang dikatakan ‘aqqa waalidahu, ya’uqquhu ‘uqaaqan, fahuwa ‘aaqun jika telah menyakiti hati orang tuanya, mendurhakainya, dan telah keluar darinya. Kata ini merupakan lawan dari kata al-birru bihi (berbakti kepadanya).
Kata al-’uquuq (durhaka) berasal dari kata al-’aqq yang berarti asy-syaq (mematahkan) dan al-qath’u (memotong). Jadi, seorang anak dikatakan telah durhaka kepada orang tuanya jika dia tidak patuh dan tidak berbuat baik kepadanya, atau dalam bahasa Arab disebut al-’aaq (anak yang durhaka). Jamak dari kata al-’aaq adalah al-‘aqaqah. Berdasarkan pemaknaan ini, maka rambut yang keluar dari kepala seorang bayi yang baru lahir dari perut ibunya dinamakan dengan aqiiqah, karena rambut itu akan dipotong.
Yang dimaksud dengan al-’uquuq (durhaka) adalah mematahkan “tongkat” ketaatan dan “memotong” (memutus) tali hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya.
Jadi, yang dimaksud dengan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua adalah mematahkan “tongkat” ketaatan kepada keduanya, memutuskan tali hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anaknya, meninggalkan sesuatu yang disukai keduanya, dan tidak menaati apa yang diperintahkan atau diminta oleh mereka berdua.
Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba, itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah itu sampai kedua orang tuanya ridha.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim, (kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.” Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”
Oleh karena itu ketika ada seseorang yang memaparkan kepada Rasulullah saw. tentang perbuatan-perbuatan ketaatan (perbuatan-perbuatan baik) yang telah dilakukannya, maka Rasulullah saw. pun memberikan jawaban yang sempurna yang dikaitkan dengan satu syarat, yaitu jika orang itu tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Murah Al-Juhani r.a. bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Nabi saw. kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang haq), kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku (juga) telah melaksanakan shalat lima (waktu), menunaikan zakat dari hartaku, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.’ Nabi menjawab, ‘Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan (seperti) ini, maka dia akan bersama para nabi, shiddiqiin, dan syuhada pada hari Kiamat nanti seperti ini –beliau memberi isyarat dengan dua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah)—sepanjang dia tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.’”
Hadits-hadits Tentang Durhaka
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka!” Seseorang bertanya, “Siapa yang celaka, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Barangsiapa yang sempat bertemu dengan kedua orang tuanya, tetapi dia tidak bisa masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).”
Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata, Nabi saw. pernah naik ke atas mimbar, kemudian dia mengucapkan, “Amin, amin, amin.” Lalu beliau bersabda, “Jibril a.s. telah mendatangiku, kemudian dia berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang sempat bertemu dengan salah satu dari kedua orang tuanya (dan tidak berbakti kepada mereka), kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’. Jibril kemudian berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan (dan dia tidak berpuasa) kemudian meninggal dunia, maka Allah tidak mengampuninya, dimaksukkan ke neraka, dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’.’ Jibril kemudian berkata, ‘Barangsiapa yang ketika disebutkan namamu di sisinya, tetapi dia tidak (membaca) shalawat kepadamu, kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku mengatakan ‘amin’.'”
Diriwayatkan dari Mughirah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian perbuatan durhaka kepada ibu-ibu (kalian), menuntut sesuatu yang bukan hak (kalian), dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga telah membenci percakapan tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.”
Bukhari-Mualim meriwayatkan dari Abu Bakrah, dari bapaknya bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Maukan kalian jika aku beritahukan (kepada kalian) tentang dosa yang paling besar?’ Beliau mengucapkan sabdanya ini sebanyak tiga kali. Kami menjawab, ‘Mau, ya Rasulullah.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.’ Saat itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk, lalu bersabda, ‘Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu. Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu.’ Beliau terus mengatakan hal itu sampai aku berkata, beliau (hampir saja) tidak diam.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Angin surga akan dihembuskan dari jarak lima ratus tahun dan tidaklah akan mencium bau surga itu orang yang suka menyebut-nyebut amal perbuatannya, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan orang yang kecanduan khamr.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa dia bersabda, Rasulullah saw. bersabda, “(Ada) tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari Kiamat: orang yang durhaka kepada kedua orang tuannya, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya.”
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda, “Di antara dosa yang paling besar adalah (apabila) seorang anak melaknat kedua orang tuanya.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang anak melaknat kedua orang tuannya?” Rasulullah saw. menjawab, “(Apabila) anak mencaci ayah orang lain, maka berarti dia mencaci ayahnya (sendiri), dan dia mencaci ibu orang lain, maka berarti dia telah mencaci ibunya (sendiri).”
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah dianggap berbakti kepada sang ayah jika seseorang menajamkan pandangan (matanya) kepada ayahnya itu karena ia marah (kepadanya).’”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bersabda beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai perbuatan durhaka (kepada kedua orang tua).”
Diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap dosa akan Allah tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena) durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Keridhaan Allah itu ada pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan-Nya ada pada kemarahan kedua orang tua.”
Bentuk-bentuk Perbuatan Durhaka
1. Tidak memberikan nafkah kepada orang tua bila mereka membutuhkan.
2. Tidak melayani mereka dan berpaling darinya. Lebih durhaka lagi bila menyuruh orang tua melayani dirinya.
3. Mengumpat kedua orang tuanya di depan orang banyak dan menyebut-nyebut kekurangannya.
4. Mencaci dan melaknat kedua orang tuanya.
5. Menajamkan tatapan mata kepada kedua orang tua ketika marah atau kesal kepada mereka berdua karena suatu hal.
6. Membuat kedua orang tua bersedih dengan melakukan sesuatu hal, meskipun sang anak berhak untuk melakukannya. Tapi ingat, hak kedua orang tua atas diri si anak lebih besar daripada hak si anak.
7. Malu mengakui kedua orang tuanya di hadapan orang banyak karena keadaan kedua orang tuanya yang miskin, berpenampilan kampungan, tidak berilmu, cacat, atau alasan lainnya.
8. Enggan berdiri untuk menghormati orang tua dan mencium tangannya.
9. Duduk mendahului orang tuanya dan berbicara tanpa meminta izin saat memimpin majelis di mana orang tuanya hadir di majelis itu. Ini sikap sombong dan takabur yang membuat orang tua terlecehkan dan marah.
10. Mengatakan “ah” kepada orang tua dan mengeraskan suara di hadapan mereka ketika berselisih.
Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.
Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.
Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.
Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.
Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.
Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah swt dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).
Mendidik Anak Meraih Sukses Keluarga
Oleh: Mochamad Bugi
Perlakuan orang tua terhadap anaknya sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor harapan dan cita-cita berkeluarga kedua orang tuanya. Cita-cita adalah harapan tertinggi yang sangat ingin diraih yang diupayakan dengan rencana dan segala kemampuan yang paling maksimal. Sebab, membentuk keluarga bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, pastikan Anda tidak salah dalam menetapkan cita-cita berkeluarga.
Faktor yang kedua adalah kesadaran untuk melaksanakan tugas terpenting dalam berkeluarga. Apakah tugas terpenting dalam berkeluarga itu? Allah swt. menyebebutkan dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Jadi, keluarga sukses adalah keluarga yang di dunia berhasil menjalankan misi sebagai pemimpin orang yang bertakwa dan di akhirat, berhasil mencapai visinya terbebas dari neraka. Inilah makna dari doa yang kita pinta: rabbana aatinaa fiid dunya hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar. Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di duniah dan kebahagiaan di akhirat; dan jauhkan kami dari api neraka. Allah swt. berfirman, “Maka barangsiapa yang telah dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.” [QS. Ali Imran (3): 185]
Untuk meraih kesuksesan dalam berkeluarga, posisi anak menjadi penting. Jadikan anak sebagai aset penting untuk meraih sukses keluarga. Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Ada dua ciri yang menandakan bahwa Anda telah merasakan anak Anda adalah aset penting keluarga, yaitu:
1. Jika ada rasa khawatir jika anak yang dititipan Allah kepada Anda tidak menjadi seperti yang diamanahkan.
2. Jika ada rasa cemas jika anak yang sebagai modal berharga untuk meraih sukses keluarga menjadi sia-sia tidak berguna.
Allah swt. pun menyuruh kita, orang tua, punya rasa khawatir terhadap anak-anak kita. “Dan hendaklah takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa (4): 9]
Di ayat itu juga Allah swt. memberi resep kepada kita agar tidak meninggalkan anak-anak yang lemah. Resepnya adalah tingkatkan kapasitas moral kita dengan bertakwa kepada Allah, menambah kapasitas konsepsional kita sehingga kita mampu berkata yang benar (qaulan sadiidan), dan perbaiki kualitas amal kita (tushlihu’ ‘amal). [Lihat QS. Al-Ahzab (33): 70-71]
Resep itu harus dilakukan secara bersama-sama dalam keluarga, bukan sendiri-sendiri. Ini terlihat dari ayat itu ditulis Allah swt. dengan bentuk jamak. Jadi klop dengan prinsip ta’awun alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam ketakwaan) dan al-mu’minuna wal mu’minaat ba’duhum auliyaa’u ba’d (lelaki yang beriman dan wanita yang beriman mereka satu sama lain saling bantu-membantu).
Step to step-nya seperti ini. Mulailah kedua orang tua, yaitu kita, memperbaiki diri. Lalu, hadirkan untuk anak Anda lingkungan terbaik dan hindarkan mereka dari lingkungan yang merusak. Beri mereka makanan yang terjamin gizi dan kehalalannya. Berikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi keluarga. Tentu saja siapkan anggaran yang cukup. Setelah itu, bertawakalah kepada Allah swt. Doakan selalu anak Anda.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak, yang harus menjadi titik tekan adalah:
1. Mengikatnya dengan (suasana) Al-Qur’an
2. Menjadikannya terus menerus merasa dalam pengawasan Allah swt.
3. Menumbuhkan cinta kepada Nabi saw., keluarga dan para sahabatnya. Menjadikan mereka sebagai sumber panutan dan rujukan hidup
4. Membiasakannya mencintai segala hal yang diridhai Allah; dan menjadikanya benci terhadap yang dimurkai Allah.
5. Membekalinya dengan keterampilan memimpin dan berjuang.
6. Membekalinya dengan keterampilan hidup.
7. Membekalinya dengan keterampilan belajar.
8. Menjadikannya mampu menggunakan berbagai sarana kehidupan (sain dan teknologi).
4 Kunci Rumah Tangga Harmonis
Oleh: Mochamad Bugi
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:
1. Jangan melihat ke belakang
Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.
Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.
2. Berpikir objektif
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.
Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.
3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya
Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.
Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.
4. Sertakan sakralitas berumah tangga
Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.
Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!
Agar Pernikahan Membawa Berkah
Oleh: Tim dakwatuna.com
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak
Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com - Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.
Yakinlah, lembaga sekolah tidak bisa menjamin bisa menggantikan tugas penting orang tua itu. Tapi, mungkin sekolah bisa memberi pengayaan pengetahuan tentang data-data yang menguatkan akidah dan pokok-pokok ajaran agama kepada anak-anak kita.
Menanamkan akidah ke dalam hati anak-anak kita memang bukan pekerjaan instant. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Tapi yakinkan kepada anak kita bahwa sekarang mungkin mereka tidak mengerti, seiring dengan waktu dan berkembangnya pikiran mereka, kelak mereka akan paham.
Pemahaman akidah yang seperti apa yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini? Tentu saja tentang Allah swt., tentang kitab-kitab samawi, tentang malaikat, tentang nabi dan rasul, tentang hari akhir. Tentu saja perlu bahasa sederhana untuk menyampaikan hal-hal yang badihi (aksiomatik) tentang itu semua.
Sebagai contoh, kenalkan kepada anak kita tentang hal-hal berikut ini.
1. Allah adalah Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai Dia.
2. Setiap makhluk, termasuk anak kita, butuh kepada Allah swt. dan Allah swt. tidak butuh kepada selain diri-Nya.
3. Mengesakan Allah dalam ibadah adalah wajib.
4. Rahmat Allah swt. sangat luas sedangkan siksa-Nya sangat pedih.
5. Allah swt. mencintai hambanya yang taat dan membenci orang yang maksiat.
6. Dalam beribadah kepada-Nya, kita tidak membutuhkan perantara.
7. Hanya kepada Allah swt., kita meminta. Tidak kepada yang lain.
8. Tidak ada ketaatan terhadap makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah swt.
9. Kita hanya diajurkan untuk memikirkan makhluknya, tidak memikirkan Dzat Allah swt.
10. Dia Allah swt. yang memberi manfaat dan mudharat. Tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat tanpa seizin